Daerah

Ada “Sekolah Anti Wahabi” di Nganjuk

NU Online  ·  Jumat, 28 Juni 2013 | 23:25 WIB

Pengalaman sebagai ketua Pimpinan Cabang IPNU Bojonegoro, Jawa Timur, selama dua periode (1999-2003), mendorong Muhammad Zumroni Fahry ingin tetap berkhidmah bagi warga NU. Ia mendirikan SD Plus An-Nahdlah ia menyiapkan anak bangsa berideologi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).<>

“Sebagai orang pendatang, pendirian lembaga pendidikan yang berideologi Aswaja An-Nahdhiyah memang penuh tantangan, bahkan tidak jarang intimidasi” ujarnya.

Ide pendirian lembaga pendidikan formal ini muncul saat Yayasan Islamiyah di depan rumahnya sedang mati suri. “Padahal aset yang dimiliki sudah tersedia untuk mendirikan sekolah formal,” ceritanya. Pada saat Zumroni baru datang, sudah berdiri TPQ, madrasah diniyah dan raudhatul athfal (RA). “Semua itu berpusat pada sebuah mushala, meski jumlah muridnya tidak begitu banyak,” kenangnya.

Atas kesepakatan masyarakat sekitar dan dukungan penuh dari keluarga, Zumroni memberanikan diri untuk mendirikan SD. Ruang belajar dibangun di samping mushala. Dengan dana awal dari pinjaman seorang guru besar di Universitas Negeri Malang (UM), dua kelas baru dibangun. “Gedung itu sekarang dibangun lagi lantai atasnya untuk dibuat kelas baru,” imbuhnya.

SD Plus An-Nahdlah berdiri sejak dua tahun lalu dan berlokasi di Jalan Bambang Yuwono Desa Gondangkulon Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk. Pemilihan nama An-Nahdlah tidak terlepas dari kecintaan ketua yayasan Zumroni kepada NU. Nama itu diakui sebagai tabarrukan kepada para ulama yang sudah mendirikan dan membesarkan NU. “Ini juga semacam harapan agar yayasan lama yang mati suri, bisa bangkit kembali dengan didahului nama An-Nahdlah,” ceritanya.

Di balik itu, Zumroni juga menggarisbawahi perlunya sekolah berbasis ideologi Aswaja An-Nahdiyyah di daerah Nganjuk utara. Sampai saat ini, lanjutnya, sekolah itu juga belum berdiri. “Padahal di daerah Nganjuk utara sini adalah sasaran empuk bagi para aktivis Wahabi untuk melebarkan sayapnya,” katanya. Dia tidak kaget saat jamaah Muslimat NU di desa sebelahnya pada akhir Mei lalu diajak hadir pada Konferensi Khilafah oleh pengurus HTI di Stadion Tambaksari Surabaya.

Saya tidak menyalahkan siapa-siapa, itu semua harus dijawab dengan aksi nyata agar anak-anak warga NU tidak semakin direkrut mengikuti ideologi imporan dari Arab Saudi itu,” katanya. Padahal, lanjutnya, para aktivis Wahabi di daerah itu sudah bersiap-siap untuk mendirikan lembaga pendidikan formal. “Saya dengar TK dan TPQ di sana sudah dikuasai kaum cingkrang, jadi tinggal mendirikan SD saja,” ujarnya dengan mimik serius.

Pembangunan gedung baru SD Plus An-Nahdlah itu terwujud karena diakui adanya kesepahaman dan kesatuan semangat untuk mendirikan lembaga yang berideologi Aswaja An-Nahdiyyah dengan sang guru besar UM itu. “Beliau sendiri yang datang untuk memperkenalkan sekolah baru ini kepada dinas pendidikan Nganjuk dan masyarakat di sekitar sini,” imbuhnya.

Namun, respon yang diberikan masyarakat sekitar pada awalnya tidak seperti yang diharapkan. Pesimisme dan penolakan datang dari segala arah. Ini diakui sebagai tantangan baginya. “Ya maklum, karena warga sekitar sini mengenal saya sebagai pemilik toko pertanian yang cuma jualan pupuk,” ujarnya sambil terkekeh.

Bahkan, tantangan itu masih berlanjut sampai sekarang. Berdasar penuturan kepala sekolah SD Plus An-Nahdlah Imroatus Khusnul Khotimah, sampai sekarang pun tetap ada orang yang “mengawasi” keberadaan sekolah yang dipimpinnya. “Mereka ini biasanya bergerak mendatangi rumah-rumah siswa agar tidak sekolah di sini,” ujarnya.

Diceritakan tidak sedikit walimurid yang curhat tentang hal ini. “Biasanya isu yang dihembuskan tentang legalitas ijasahnya, apa nanti bisa digunakan untuk masuk SMP atau MTs,” ujarnya, Kamis (27/6).

Warga sekitar SD Plus An-Nahdlah memang masih rendah secara ekonomi dan kesadaran menimba ilmu agama. Meski begitu, pada tahun pertama, sudah berhasil menerima 23 siswa baru. “Tahun ini yang mendaftar sudah 25 calon siswa baru,” imbuhnya. Jumlah itu dipastikan masih terus bertambah karena lulusan TK/RA masih belum menerima ijazah.

Proses pembelajaran SD Plus An-Nahdlah tidak jauh berbeda dengan sekolah lainnya. “Tapi tiap bulan seluruh siswa kita ajak keluar sekolah untuk melakukan outclass,” ujarnya. Pada sesi ini, siswa diajak untuk merasakan secara nyata kondisi riil masyarakat sekitar. Baik di pasar tradisional ataupun sawah. “Di pasar anak-anak akan belajar banyak tentang matematika, etika berdagang, kejujuran dan sebagainya,” ujarnya.

Untuk menanamkan nilai-nilai Aswaja, lanjut alumni UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta ini, setiap malam Jumat Kliwon seluruh walimurid diajak istigosah dan tahlil di rumah ketua yayasan. “Alhamdulillah, walimurid yang hadir biasanya lebih dari tujuh puluh persen,” imbuhnya. Di sekolah, siswa juga diajak mengamalkan amaliyah NU. Seperti hapalan juz ‘amma, tahlil, istigosah, diba’ ataupun baca surat Yasin. “Kami juga bekerjasama dengan MWC Ma’arif Gondang untuk mengisi pengajian bagi para walimurid,” tambah Zumroni.  

Untuk mengembangkan sekolah, pihak yayasan sudah membeli sebidang tanah dengan luas 21 x 100 meter. Lokasinya di sebelah selatan tidak jauh dari SD Plus An-Nahdlah sekarang. “Tetap berada di jalan Bambang Yuwono dan alhamdulillah dua bulan lalu sudah lunas pembayarannya,” ujar Zumroni. Pihak yayasan juga sudah mendirikan BMT Sahabat Umat yang mendampingi para petani dalam memperoleh pupuk secara kredit. “Juga memberikan bantuan bergilir berupa sapi ternak,” pungkasnya. (Mukani/Red:Anam)