Cerpen

Dongeng Enteng dari Pesantren (6): Tentang Pesantren

Jum, 13 Maret 2020 | 23:45 WIB

Dongeng Enteng dari Pesantren (6): Tentang Pesantren

Pondok pesantren Sukamiskin (Foto: ponpesukamiskin.com)

Aku pernah menjadi santri. Aku juga pernah sekolah tinggi. Jadi, kalau mencoba membandingkan bagaimana pengajaran di pesantren dan sekolah tinggi, yang jadi peganganku adalah pengalaman. 
 
Dalam pengajarannya, pesantren dan sekolah tinggi (sebelum ada studi terpimpin) sebetulnya sama. Bahkan pesantren memiliki kelebihan. Pertama, tidak ada sistem ujian, dan keduanya sudah dipraktikkannya melalui pilot project. Tidak setiap pesantren seperti itu. Namun, begitulah di pesantrenku.  
 
Setiap santri tidak dipaksa dalam hal belajar. Semua berdasar kemauan masing-masing. Begitu pula dalam hal menambah pengetahuan, tidak perlu melewati samen (imtihan), tapi tergantung kemampuannya si santri. Sebetulnya ada jeleknya sistem seperti ini, yaitu kalau santri yang malas, meskipun bertahun-tahun berada di pesantren, dia tidak akan bisa apa-apa. Ada santri yang sudah tiga tahun tinggal di pesantren, tapi belum khatam sekalipun Al-Qur’an. Kitab Safinah pun belum memulai membaca bagian tengahnya seperti si Atok. 
 
Yang disebut pilot project yaitu para santri belajar berkebun, memelihara ikan atau bersawah. Memang sepertinya ajengan yang beruntung sebab kolam, kebun, dan sawah yang dikelola santri adalah milik ajengan. Namun demikian, santri menjadi punya keterampilan. Dan kalaupun itu menguntungkan ajengan, apa salahnya, sebagai bagian dari membalas budi untuk ajengan yang telah mengajar santri. Kan di pesantren tidak membayar apa pun.
 
Itulah sebabnya kalau santri pulang dari pesantrn, di kampungnya masingmasing bisa menjadi guru dan bertani. Seperti Kang Usman misalnya, susah mencari orang seperti dia yang mampu mijahkeun (beternak) ikan emas. Kang Usman belajar mijahkeun ikan emas di kolam ajengan. Padahal saat di kampungnya, dia tak bisa dan tak memiliki keterampilan itu. Dia kan orang Cijulang, tidak mungkin orang yang berada di sisi laut, memiliki kolam sehingga tak mungkin bisa mijahkeun ikan.  
 
Entah berapa luasnya pesantrenku. Kata orang, tanahnya merupakan wakaf dari seorang lurah. Pondokannya cukup besar. Namun, aku susah menyebutkan secara detil berapa meter kali berapa meter. Begitulah. Hanya saja santrinya sekitar 60 orang. Tidak berdesakan. Seorang santri punya lahan masing-masing sekitar 1,5 X 2 meter. Dua umpak tempat tidur. Begitulah umumnya pesantren.
 
Tidak jauh dari pesantren ada tajug (mushala). Sebetulnya terlalu besar untuk disebut tajug, tapi terlalu kecil untuk disebut masjid. Namun yang pasti, bisa masuk sekitar 70 orang. Jadi, kalau jumatan, selain santri, orang kampung juga bisa turut serta di tajug itu. 

Tajug itu menghadap ke kolam ikan yang berfungsi untuk wudhu serta membersihkan kaki bagi orang yang akan memasuki tajug. Sebelah bawah tajug ada kolam yang memiliki pancuran tempat santri mandi. Di atas tajug, ada rumah ajengan. Di samping dan belakangnya ada kolam juga. Semuanya ada pancurannya. Sementara kolam untuk mencuci ada di sebelah barat, dekat dengan jalan ronda. 

Jalan ronda itu sebagai batas antara pesantren dan kampung. Di pinggir jalan sebelah seberangnya ada warung Imi tempat santri berkumpul sebelum dan sesudah maghrib. Bukan berkumpul tanpa maksud, bukan hanya untuk makan, tapi memantau Nyai Juariyah yang rumahnya tidak jauh dari situ. Para santri memanggilnya si jamilah (cantik). Ia cucu marbot. 
 
Untuk menggambarkan, bahwa tak jauh dari situ ke pondok sebab kalau ada yang bermunajat di tajug, terdengar jelas ucapannya dari warung Imi. 

Yang membuat kuterkesan kalau sebelum isya. Aku ikut berkumpul di warung Imi. Samar-samar, tapi jelas ucapan-ucapan orang bermunajat di tajug. Apalgi yang bermunajat itu si Usup yang terkenal merdu suaranya. Innallaha wamalaikatahu yushalluna ala nabiyyi ya ayyuhalladzina amanuuu... dst.. Terasa meresap ke dalam sanubari. Orang-orang di warung terbungkam kalau si Usup yang bermunajat. 

Juga kalau si Usup azan subuh. Suaranya merdunya dikeluarkan sepenuhnya. Orang yang malas bangun juga biasanya terbangun kalau si Usup yang azan. Terus duduk, anteng menyimak suaranya. Hayya alash shalah (mari kita shalat) hayya alal falah (mari kita meraih kebahagiaan) asshalatu khairum minan naum... (shalat lebih daripada tidur...). suara yang merdu terbawa semilir angin subuh. Lebih menggugah rasa dibandingkan terommpet yang membangunkan tentara.

Segeralah para santri terbangun memburu kolam untuk berwudhu. Santri-santri yang malas masih nuglet, tapi kalau sudah mendengar iqamat, segera dia berlari sebab takut ketahuan Kang Udin, kalau tak ikut berjamaah. Nanti dilaporkan ke ajengan. Lain dari itu, mereka tahu bahwa shalat berjamaah lebih besar pahalanya dibanding shalat sendirian. 

Ajengan saya bernama Muhammad Abdul Syukur. Ia sebetulnya melanjutkan mertuanya. Orang yang memulai mendirikan pesantren itu adalah orang tua istrinya, kakeknya Nyai Halimah, yang masyhur di kampung itu, Ajengan Haji Bajuri. Ia meninggal di Mekkah ketika melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Ia meninggalkan dua anak. Satu, ibunya Nyai Halimah, satu lagi Ajengan Muhammad Kadir yang menjadi pengasuh pesantren Cijahe. 

Namun sayang, ketika kau ke situ, pesantren hanya tinggal puingnya. Kalau masih seperti dulu, aku ingin tidur tiga malam sebagai upaya mencuci diri setelah hidup banyak berbuat dosa.  
 
Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia oleh Abdullah Alawi dari kumpulan cerpen otobiografi Dongeng Enteng ti Pesantren. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan tahun 1961 dan memperoleh hadiah dari LBBS di tahun yang sama. Menurut Adun Subarsa, kumpulan cerpen tersebut digolongkan ke dalam kesusastraan Sunda modern sesudah perang.
 
Nama pengarangnya Rahmatullah Ading Afandie sering disingkat RAF. Ia lahir di Ciamis 1929 M. Pada zaman Jepang pernah nyantri di pesantren Miftahul Huda Ciamis. Tahun 1976, ia muncul dengan sinetron Si Kabayan di TVRI, tapi dihentikan karena dianggap terlalu tajam mengkritik. Ketika TVRI cabang Bandung dibuka, RAF muncul lagi dengan sinetron Inohong di Bojongrangkong.