Cerpen

I'tikaf Tersandera

Ahad, 7 April 2024 | 07:00 WIB

I'tikaf Tersandera

Ilustrasi (dok NU Online)

Cerpen Hamidin Krazan 
Kejadian malam ke-25 Ramadhan di masjid tua bersaka satu, sangat merugikan Dul Kodrat. Lelaki empat puluhan tahun itu disekap di kamar tempat genset yang bersebelahan kamar kurung bathang. Kerugian apa yang ada dalam pikiran Dul Kodrat, sehingga setelah kejadian itu ia langsung mendatangi rumah Ketua Takmir Masjid sambil mengancam ingin melapor ke polisi, jika sebelum malam ke-27 Ramadhan pengurus takmir gagal menemukan dua pelaku penyekap dirinya.


Ustadz Ramdan selaku Ketua Takmir Masjid hanya tersenyum, setelah Dul Kodrat mengadukan atas tindakan berbau kriminal yang menimpanya. Yaitu rangkaian kejadian penyekapan dan kejadian lain seperti cekcok dengan beberapa orang tanpa identitas pada dini hari, dua hari sebelumnya.  

 

"Saya jadi inget cerita Eyang Kakung ketika saya masih usia SD. Katanya, dulu di beberapa tempat ibadah itu ada yang dihuni makhluk Allah selain manusia yaitu jin putih. Konon, selain rajin beribadah, makhluk ini juga suka iseng menganggu orang tertentu ketika berada di masjid," suara Ustadz Ramdan terdengar lembut, tetapi cukup menyungkil emosi Dul Kodrat. 


Ia bukannya tidak percaya adanya mahkluk halus seperti itu, tetapi dirinya yakin betul bahwa pelakunya manusia. Meskipun diyakini juga mereka bukan dua di antara puluhan jamaah masjid atau warga yang ada di sekitar masjid yang berdiri sejak ratusan tahun silam di antara alur anak sungai dan jalan raya peninggalan Belanda itu. Kalaupun dua sosok penyekap itu sejenis makhluk halus, mengapa cara-caranya kasar dan menggunakan sarung untuk membekap sehingga ia tidak bisa melihat mereka. Kalau benar, tentu cukup pakai aji sirep agar tertidur dan tak sadarkan diri?  Atau dibuat seperti mainan robot-robotan yang diaturb dengan remot dari jarak jauh, kan bisa?

 

"Ngapunten, napa makhluk halus ngagem sarung? (Mohon maaf, memangnya makhluk halus memakai saraung?)" 


Ustadz Ramdan tertawa lalu tiba-tiba diam. "Ah, tidak usah dipersoalkan. Terpeting kamu tidak dilukai atau rugi secara materi kan? Apakah ada isi dompetmu yang diambil oleh para penyekap?"

 

Dul Kodrat menggeleng. Setelah mengamati gelagat dan sarung baru yang dipakai Ustadz Ramdan, lelaki baya itu tercenung, seperti berusaha mengait-kaitkan dengan sarung yang dipakai si penyekap. Tetapi terlalu sembrono. Kemudian ia  mengulurkan tangan bersalaman sambil memohon maaf. Lalu berpamitan. 


Rugi secara materi sih tidak. Tetapi saya kehilangan kesempatan i’tikaf di malam itu gara-gara disandera. Dul Kodrat merajuk dalam gumam, setelah langkah kakinya melewati gerbang rumah Ketua Takmir Masjid. 

 

Bayangan yang mengesalkan hati Dul Kodrat kembali berkelebat dalam ingatannya. Dua lelaki bertangan kekar dengan gerakan kesal itu membekap kepala Dul Kodrat dari arah dua sisi belakang dengan menggunakan sarung toldem atau sarung goyor. Untungnya tidak pakai karung beras. Bekapan kain sarung bertekstur lembut dengan tenunan benang yang  padat dan kuat itu disertai entakan kedua lengan Dul Kodrat terpiting sekuat tenaga oleh tangan kekar lelaki satunya. Sambil dipaksa melangkah menuruni ambal-ambalan depan pintu masjid dengan kedua kaki yang setengah menggantung, mata Dul Kodrat sama sekali tak dapat melihat. Arah jalan juga tak terawang karena seluruh wajah terbelit erat sarung hitam itu. Dul Kodrat tidak berontak, melainkan mengikut dan tak  melawan. Tidak pula protes dengan bertanya apa salah dirinya. Dalam pikiran Dul Kodrat hanya ada satu pertanyaan: Ini mimpi atau kejadian nyata?  

 

Seingat Dul Kodrat, ia datang ke masjid lebih awal dari orang-orang lain yang sama-sama berada di rumah Tuhan itu untuk melaksanakan ibadah berdiam diri di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadan. Saat Dul sedang menderas Al-Qur'an, tiba-tiba seseorang beraroma wangi datang lalu menekan tombol off saklar lampu yang menempel di tembok sebelah kiri pengimaman. Lampu ruang utama masjid pun padam. Suasana menjadi gelap. Mata Dul Kohar yang semula tertuju kepada rangkaian huruf-huruf bermakna dari ayat Al-Qur’an yang sedang dibacanya, seketika blub! Hitam, gelap. Mata seperti berkunang-kunang sedangkan ayat-ayat tidak bisa dibaca lagi karena ruangan masjid berbah seperti berada di dalam goa. 

 

"Baca terus Dul."


“Aku tak bisa membaca, mataku tak bisa melihat tulisan,”

 

“Nyalakan lampunya ...”

 

Dul Kodrat  nyaris berjingkat dari duduk bersila, tetapi urung. Ia tahu, seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap orang-orang yang datang untuk i’tikaf di masjid tua ini, sukanya suasana gelap. Mungkin biar lebih khusuk dalam doanya. Atau agar menyerupai suasana ketika Kanjeng Nabi sebelum diutus Allah sebagai Rasul, dimana beliau sering berkhalwat di Gua Hiro. Mungkin suasananya gelap, hening, untaian munajat dan dzikir menembus keheningan dalam duduk khusuk. 

 

Tetapi, apa yang diamati Dul Kodrat sebenarnya ada sedikit keganjilan. Yaitu di tengah ruangan gelap itu, apakah semua orang beraroma wangi yang duduk bersila di plesteran masjid tua ini benar-benar sedang berdoa dan dzikir khusuk atau sekadar bergaya i’tikaf padahal nyatanya terlelap dalam kantuk? Dari rasa penasaran yang muncul inilah, akhirnya Dul Kodrat melakukan keisengan. 

 

Pertama-tama ia sengaja menuruti keinginan untuk tetap bisa membaca al Qur’an setelah ada orang yang mematikan lampu ruang masjid dengan bangkit dan menghidupkan saklar lagi. Meski Dul Kodrat paham maksudnya, mengapa lampu harus dimatikan, tetapi malam ke – 21 itu, ia memberanikan diri untuk menyalakan kembali lampu ruang masjid.


Akibatnya terjadi keributan di awal malam likuran. 

 

Klik ... lampu mati

 

Klek ... ruangan terang lagi


Klik ... 

 

"Jadi nggak khusuk tau?!”


Klek ...

 

"Saya nggak bisa baca Qur’an kalau gelap,”


“Makanya hafalkan Qur’an dong ...”

 

Dul Kodrat terdiam. Beberapa suara jamaah beraroma wangi itu saling membela agar selama ibadah i’tikaf lampu tetap dimatikan. Akhirnya dengan ucapan yang tidak terdengar orang di sebelahnya, ia membenarkan kata-kata seseorang yang terakhir. Jika dirinya hafal al Qur’an maka bisa tetap menderas Kalam Ilahi itu dalam keadaan gelap. Bahkan ketika sedang ada pemadaman aliran listrik akibat gangguan jaringan PLN sepekan sekali pun!


“Sebelum kamu ada di masjid ini, setiap i’tikaf di sini suasananya gelap-gelapan. Jadi jangan sok memancing keributan. Melu apa kulinané ba’e! (Ikuti seperti kebiasaan saja)."


Dul Kodrat tidak menyangkal semua suara-suara dalam ruang masjid gelap. Entah suara siapa, wajahnya bagaimana. Anehnya, tidak ada satu suarapun yang akrab di telinganya. Hal aneh lainnya adalah dari aroma minyak wangi yang mereka pakai. Itu bisa dua sebab, orang yang kenal dengan Dul Kodrat tidak ikut bersuara, karena mendukung kondisi ruangan agar tetap gelap. Atau suara-suara orang yang dikenalnya memang tidak berada di dalam masjid untuk ikut i’tikaf?  


Hanya satu aksi untuk mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan itu. Butuh pembuktian! Caranya nekat. Tanpa diduga hal ini justeru awal dari persoalan puncaknya. Akibat Dul Kodrat penasaran atas pertanyaan semua itu tadi. Apakah mereka benar-benar duduk berdoa khusuk atau tidur duduk? Apakah teman yang dikenalmya ada dalam satu ruangan itu atau tidak?


Malam ke-23 Dul Kodrat datang tidak seawal biasanya. Jika biasanya datang pukul 24.00 tengah malam, pastilah termasuk datang paling awal. Kali ini datang sekitar pukul 02.00 WIB. Secara tak berpikir panjang ia hidupkan lampu setelah sebelumnya salat tahiyatul masjid, berdoa lalu membaca Al-Qur’an. Dalam pikiranya sudah menduga, tak berapa lama lagi pasti ada orang yang datang lalu menuju sebelah kiri pengimaman dan mematikan lampu.


Benar ternyata. Hanya saja kali ini yang datang lebih dari puluhan orang. Dul Kodrat tidak bisa melihat secara langsung wajah-wajah mereka. Hanya aroma wangi seperti minyak yang dipakai para penceramah ternama. Setelah satu orang memencet saklar sehingga lampu ruangan masjid padam, lalu salat. Para jamaah lain juga salat. Dul Kodrat diam menunggu mereka selesai salat. Dul Kodrat sudah meletakkan mushaf Al Qur’an ke rak almari di pojok masjid. 


Dul Kodrat berharap orang-orang itu sedang berdzikir dan berdoa sebagaimana diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallama ketika sedang beri’ikaf itu agar memperbanyak membaca ‘Allahumma innaka ‘afwun tuhibbul ‘affa fafu’anni’. Atau membaca al Qur’an dan melakukan amalan lainnya. Untuk meyakinkan benar atau keliru atas harapan itu, Dul Kodrat mulai beraksi. Ia yang semula duduk bersila, kemudian  berjingkat dengan tetap posisi jongkok, melangkah dalamposisi jongkok sambil  ia mendekat ke salah satu orang yang duduk paling belakang. Ia dekati dari sebelah kirinya. Aromanya wangi sekali tetapi ternyata dari suara yang terdengar bukan suara alunan muroja’ah ayat-ayat Al-Qur’an, melainkan suara khas yang tidak asing itu. Ngorok!


Masih sambil berjalan dengan posisi kaki jongkok seperti jalan bebek, ia bergeser sambil mendekati satu orang lagi di sebelahnya. Ternyata juga terdengar suara yang sama. Sampai kepada orang yang kelima, begitu Dul Kodrat mau mendekatkan telinga ke sisi mulut orang itu, tiba-tiba Dul Kodrat terperenyak sehingga menubruk orang itu. Sebelum jidatnya membentur wajah orang itu, tak terduga dari belakang dua orang bertangan kuat sigap menyekap sambil mengarungi kepalanya dengan sarung hitam. 


Malam Ramadan ke-27 Dul Kodrat didatangi Ustadz Ramdan sekitar pukul 21.00 WIB. Beliau mengajaknya untuk i’tikaf di sebuah masjid megah di Kota Kecamatan. Dijelaskannya, kalau i’tikaf di masjid yang akan dituju ini suasananya beda. Seisi ruangan masjid terang benderang, semua lampu dalam ruangan masjid dinyalakan. Pihak Takmir juga menyediakan makan sahur. Mereka berangkat sekitar jelang tangah malam. Sebelum masuk masjid, Ustadz Ramdan mengajak Dul Kodrat melihat papan pengumuman. Di papan itu salah satunya ada pengumuman hasil infak sedekah setiap pekan selama Ramadan. 


“Sepekan uang kotak bisa mendapatkan 5 juta?” Dul Kodrat berdecak heran sambil mengucap masya Allah.
Ustadz Ramdan tersenyum biasa. “Tidak usah heran, ini masjid besar di tengak kota kecamatan jamaahnya dari mana saja. Terlebih banyak musafir yang singgah di sini. Kamu tahu berapa infak pada setiap malam likuran di masjid kita yang tua itu?”

 

Dul Kodrat menggeleng. 

 

“Bisa tujuh kali lipat!”


“Emang yang pada i’tikaf di masjid tua itu siapa?”

 

Ustadz Ramdan tidak menjawab. Dul Kodrat sejak ia disekap gara-gara ingin tahu siapa orang-orang yang i’tikaf di masjid tua itu, hingga sekarang tidak pernah tahu siapa mereka. 

 

“Apakah dia dari kalangan ...” saat ucapannya belum selesai, Ustadz Ramdan menyodorkan tote bag kertas coklat isinya sarung toldem. Ia ambil dan sepontan menciumnya bungkus sarung itu yang aromanya seperti minyak wangi yang dipakai para jamaah i’tikaf yang wajahnya tak bisa dikenali itu. 


“Tidak usah menilai para jamaah i’tikaf di masjid tua kita itu berasal dari kalangan ‘Dewi Sandra’ atau mungkin bagian dari pengikut ‘Sandra Dewi’. Nanti kamu malah disandra lagi di kamar kasuraga. Mau?”  Ustadz Ramdan mewanti-wanti.

 

Dul Kodrat angkat tangan. 

 

Hingga sekarang di masjid tua itu setiap malam likuran tradisi gelap-gelapan dalam i’tikaf tetap dijalankan. ‘Itu lebih baik daripada mereka ajojing lupa diri di ruangan wangi gemerlapan?

 

Pekuncen, Ramadhan 1445 H 


Hamidin Krazan adalah seorang juru warta untuk media Berbahasa Banyumasan ‘Majalah Ancas dan Majalah Akhbar ZamZam’ juga penulis fiksi. Tinggal di Jl Setasiun Legok No 11 Desa Pekuncen, Kecamatan Pekuncen, Banyumas.