Keputusan Mejelis Ulama Indonesia (MUI) yang memfatwakan golput haram menulai kontraversi di masyarakat. Keputusan ini salah satunya bertujuan untuk mengurangi tingkat golput dalam berbagai pemilu yang semakin lama semakin meningkat.
Banyak fihak berpendapat MUI seharusnya tidak masuk terlalu jauh dalam ranah publik ini. “Semua masalah sosial yang in process, selalu tidak pas kalau dihukumi legal formal, ini kan hitam putih. Fikih kan halal-haram, surga-neraka,” kata KH Hasyim Muzadi, Selasa (3/2).<>
Kasus fatwa haram untuk golput juga tidak mengkategorikan golput seperti apa yang diharamkan karena motivasi seseorang untuk tidak memilih sangat beragam. “Haram hukumnya kalau meniadakan proses pemilihan pemimpin, nasbul imamah. Tanpa itu, tidak ada kekuasaan, dan tanpa kekuasaan akan ada anarki,” tandasnya.
Akan tetapi, ketika seseorang malas menggunakan hak pilihnya karena tidak ada pilihan yang cocok, tentu tidak pas kalau dihukumi haram. Golput sebagai hak dan golput sebagai gerakan meniadakan kepemimpinan berbeda sementara MUI tidak membedakan.
“Variable-variabel seperti ini tidak dibahas secara komprehensif dan didekati dengan baik, Jadi masalah-masalah yang sedang dalam berproses tidak bisa didekati dengan pendekatan legal formal, termasuk masalah yang memiliki spektrum luas, punya manfaat disini, madhorot disana,” ujarnya. (mkf)