Jakarta, NU.Online
Delapan orang anggota parlemen Kanada yang dipimpin oleh Honorable
Diane Marleau M.P. mantan menteri Public Work and Government Services mengunjungi kantor PBNU untuk mengenal dan mempelajari masyarakat Islam Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama yang dikenal moderat dan pluralis. Rombongan di terima jajaran pengurus PBNU, antara lain Rozy Munir, KH. Irfan Zidny, Solahuddin Wahid, Muhyiddin Arubusman, Taufiq Abdullah, dan Syaiful Bahri Ansori.
Dalam kunjungan dua hari di Indonesia anggota parlemen (Komisi Urusan Luar Negeri dan Perdagangan Internasional Kanada)--sejenis dengan Komisi I DPR-RI itu menanyakan tentang sejarah kelahiran NU, tradisi pendidikan pesantren, pola pemikiran, struktur yang ada dalam organisasi terbesar di Indonesia ini. bahkan mereka menanyakan tentang politik NU sampai ke hal mengapa dalam kepengurusan NU tidak ada anggota perempuannya. Semuanya dijelaskan secara gambalang oleh HM Rozy Munir dan H Solahuddin Wahid, termasuk bahwa perempuan dalam NU ada organisasinya sendiri yaitu Muslimat NU yang memiliki otonomi penuh.
<>"Kami sangat senang bahwa anggota parlemen Kanada telah memilih Indonesia sebagai lokasi untuk mempelajari masyarakat Islam dan hubungannya dengan Kanada," kata Rozy Munir dalam sambutan yang disampaikan dalam acara ramah tamah yang bertempat di Lt.V gedung PBNU.
Kunjungan tersebut merupakan inisiatif pemerintah Kanada dalam upaya membina dialog dan kemitraan dengan masyarakat muslim di seluruh dunia, termasuk Indonesia "Dialog dan pertemuan ini untuk mengetahui lebih dekat potret Islam yang damai, yang sering disuarakan Nahdlatul 'Ulama," tegas salah seorang anggota parlemen yang menangani urusan perdagangan.
Kanada sendiri baru-baru ini menjadi tuan rumah dialog antar-agama di Universitas McGill, yang dihadiri sejumlah tokoh penting masyarakat muslim Indonesia dan dunia.
Selesai kunjungan dari kantor PBNU, rombongan melanjutkan perjalanannya ke pondok pesantren Assidiqiyah Kebun Jeruk Jakarta untuk melihat kehidupan pesantren secara langsung dimana para rombongan melihat dan berdialog dengan para santri.
Rombongan sangat antusias melihat para santri yang menerima dengan tangan terbuka dan berdialog secara langsung dengan bahasa Inggris yang ingin membuktikan bahwa pesantren bukanlah tempat yang mengajarkan radikalisme. Pesantren adalah tempat yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan moralitas yang tinggi.
Bahkan dalam dialog tersebut banyak pertanyaan polos yang muncul dari para santri yang sangat fasih berbahasa Inggris seperti “Kalau saya lulus sekolah apakah mungkin saya bisa mendapatkan beasiswa untuk sekolah di Kanada, Apakah negara anda lebih baik dari Indonesia, dan tentunya penegasan bahwa anda perlu memahami bahwa pesantren di Indonesia bukan sarang teroris”. Ungkap beberapa santri yang memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berdialog.
Diane Marleau anggota parlemen dari Sudbury yang juga mengelola sebuah dormitory school (sekolah asrama) Katolik merasa sangat terkesan dengan acara tersebut dan sekaligus memperbaiki kesalahan kesannya tentang pesantren.
Setelah dari Indonesia, delegasi tersebut akan berkunjung ke Kuala Lumpur, Islamabad, New Delhi.(cih/mkf/rzm)