Warta

Nasib Musim Rohingya, Kematian Menunggu di Myanmar

Senin, 2 Februari 2009 | 23:04 WIB

Ledha, NU Online
Beberapa ribu warga Rohingya tanpa negara yang tinggal di Bangladesh secara tidak sah atau di kamp pendatang menyatakan, mereka lebih suka mati ketimbang dipulangkan ke Myanmar, tempat kematian menunggu mereka.
       
"Kemana kami mesti pergi?" demikian pertanyaan Haji Abdul Motaleb, pemimpin orang perahu Muslim Rohingya yang menetap di satu kamp tak resmi di Ledha, di tepi sungai Naf di sepanjang 320 kilometer perbatasan antara Bangladesh dan Myanmar.<>
       
"Di sana (di Myanmar) junta militer sedang berusaha membersihkan masyarakat minoritas Muslim dengan memaksa  mereka meninggalkan rumah dan menjalani kerja paksa tanpa bayaran. Perkosaan, pembunuhan, dan penyiksaan  lain  terjadi di mana-mana," kata Motaleb kepada wartawan kantor berita Inggris, Reuters.
       
Ia mengatakan, banyak di antara mereka yang pulang, meskipun khawatir terhadap hukuman, tak menemukan bekas rumah mereka.
       
Kebanyakan orang Rohingya, kelompok minoritas Muslim dari Myanmar --yang kebanyakan warganya penganut Buddha, seringkali meninggalkan Rakhaine di bagian barat laut Myanmar menuju Bangladesh, pertama untuk menghindari hukuman dan kemudian menemukan negara lain tempat mereka dapat menata hidup baru, kata Reuters.
       
Para pejabat perbatasan mengatakan, banyak di antara mereka mengambil resiko kehilangan jiwa dalam melakukan tindakan itu dan seringkali hilang.
       
Nasib buruk mereka baru-baru ini menarik perhatian dunia ketika ratusan orang Rohingya dicegat di laut di dalam perahu butut. Banyak di antara mereka berusaha mencapai negara seperti Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Singapura untuk mencari pekerjaan setelah terperosok ke dalam jaringan penyelundupan manusia.
       
Lebih dari 550 orang dikhawatirkan  tewas tenggelam dalam dua bulan belakangan, setelah perahu mereka diseret kembali ke laut oleh militer Thailand.
       
Militer Thailand mengakui melepas mereka ke laut, tetapi mengatakan mereka diberi makanan dan air dan membantah pernyataan bahwa mesin perahu mereka disabotase.
       
Sebanyak 78 Rohingya berada dalam tahanan polisi Thailand, sementara satu perahu lagi yang berisi 193 orang Rohingya terdampar di pantai Aceh, Indonesia.
       
Motaleb mengatakan, tekanan internasional diperlukan guna membuat para penguasa Myanmar menghentikan hukuman terhadap orang Rohingya, yang tak diakui oleh junta militer, yang berkuasa, sebagai salah satu dari 130 masyarakat minoritas di negeri tersebut.
       
Bangladesh menyatakan, terdapat sebanyak 200.000 orang Rohingya yang tinggal secara tidak sah di negeri itu dan menganggap kebanyakan dari mereka sebagai pengungsi ekonomi, selain 21.000 orang yang ditampung di dua kamp pengungsi PBB di daerah pantai Cox's Bazar.
       
Beberapa pejabat Eropa di dua kamp lain yang menampung sebanyak 11.000 orang Rohingya di Ledha mengatakan, banyak di antara mereka yang berada di luar kamp utama tersebut telah meninggal akibat kemiskinan di dekat kota kecil perbatasan Teknaf.
       
Bangladesh menolak memberi orang Rohingya tempat tinggal permanen, namun tetap tak mampu menghentikan arus orang yang memiliki bahasa dan agama yang sama dengan masyarakat lokal Bangladesh.
       
Motaleb mengatakan, tak ada kabar mengenai lebih dari 100 orang yang meninggalkan kamp Ledha pada Desember 2007 dengan naik perahu pulang ke Myanmar.       
"Barangkali mereka  dijebloskan ke dalam penjara atau menemui ajal," katanya.
       
Mohammad Hasan, orang Rohingya yang berusia 25 tahun, mengatakan, saudara laki-laki dan sepupunya termasuk di antara 250 orang yang meninggalkan pantai Bangladesh menuju Malaysia pada Desember. "Kami tak mengetahui apa pun mereka  sejak itu," kata Hasan.
       
Seorang pejabat dari penjaga perbatasan Bangladesh Rifles mengatakan, banyak orang Rohingya pergi ketimbang kelaparan hingga tewas. “Mengapa kami mesti mencegah mereka mencari hidup yang lebih baik di luar negeri," kata pejabat itu --yang tak ingin disebutkan jati dirinya. (ant/mad)


Terkait