Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi berpendapat kontraversi yang timbul mengenai fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia dalam sidangnya di Padang baru-baru ini karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang keputusan ini.
“Seharusnya tidak perlu penolakan asal MUI memberikan penjelasan yang lengkap terhadap sebuah masalah,” katanya kepada NU Online di Gd PBNU, Senin.<>
Dalam hal ini dasar umum tentang bahaya dan manfaat rokok dijelaskan, jika makruh statusnya bagaimana, makruh tahrim (makruh yang sudah mendekati haram) atau haram. Pendekatan lain adalah hadist rasulullah yang dulu melarang orang berziarah, kemudian mengatakan “berziarahlah”, yang statusnya dihukumi mubah, bukan wajib. Apakah dalil seperti ini juga bisa dipakai untuk rokok?
Pengasuh pondok pesantren Al Hikam Malang ini berpendapat rokok memang memiliki bahaya, tapi relatif, terkait dengan ketahanan tubuh setiap orang. Bagi yang menimbulkan bahaya akut, bisa dikategorikan haram, tetapi pada tingkat bahaya pada level tertentu bisa dikatakan makruh.
“Lha kalau untuk anak kecil ya membahayakan. Kalau untuk orang dewasa ya relatif, masih dipengaruhi ketahanan tubuh seseorang, atau spesifikasi seseorang. Misalnya, saya ini kalau ngetik nga rokok ya nga bisa. Pada tahap seperti ini, yang tepat ya makruh,” terangnya.
Tetapi kalau Orang TBC merokok, kan langsung sakit, ya bisa dikategorikan haram. “Sebenarnya ini bukan hanya rokok, apapun yang membahayakan ya haram. Misalnya gula, orang minum air gula ketika kena penyakit gula ya haram, bahayanya langsung. Orang sakit darah tinggi makan duren, ya haram,” imbuhnya.
Selanjutnya perlu dibahas juga aspek ekonomi petani cengkeh, menyangkut ekonomi negara dan lainnya. “Ini juga perlu dimasukkan dalam pertimbangan hukum, bukan sudut pandang parsial agama saja. Ini caranya kalau MUI mau sinergi dengan pandangan umum,” ujarnya. (mkf)