Syariah

Keluar Darah Haid ketika Belum Shalat, Apakah Wajib Diqadha?

Senin, 25 November 2024 | 22:30 WIB

Keluar Darah Haid ketika Belum Shalat, Apakah Wajib Diqadha?

Ilustrasi perempuan. (Foto: NU Online)

Pembahasan haid erat kaitannya dengan pelaksanaan ibadah shalat karena ketika darah haid keluar, seorang wanita dituntut untuk meninggalkan shalat. Di sisi lain, banyak terjadi kasus darah haid keluar ketika sudah masuk waktu shalat dan seorang wanita belum sempat menunaikannya, entah karena memang sengaja menundanya, ada kesibukan, atau hal lainnya. 

 

Lalu apa konsekuensi hukumnya? Pasalnya, di satu sisi wanita tersebut belum sempat melaksanakan shalat, namun di sisi lain ia tidak diperbolehkan melaksanakan shalat karena keluarnya darah haid. Lantas kewajiban dan ketentuan apa yang dibebankan pada wanita tersebut? 

 

Menjawab kasus sebagaimana di atas, perlu dipahami bahwa keluarnya darah haid merupakan salah satu hal yang mencegah dilakukannya shalat (mani’us shalat). Wanita yang sedang haid tidak diperbolehkan melaksanakan ibadah shalat karena hukumnya adalah haram. Namun demikian, ada shalat yang wajib diqadha setelah wanita tersebut kembali suci, baik ketika mulai haid (ja’al mani’) ataupun saat berhenti haid (zalal mani’).

 

Wajib qadha shalat

Salat yang wajib diqadha adalah shalat yang sebenarnya memungkinkan untuk dilaksanakan namun belum ditunaikan hingga darah keluar atau berhenti. Sedangkan maksud memungkinkan untuk melaksanakan shalat adalah masih adanya waktu shalat dan mampu untuk melaksanakan shalat di dalam waktu tersebut. Bentuk kemampuan melaksanakan shalat sebagaimana disebutkan, memiliki kategori yang berbeda antara orang yang baru mengalami haid dan orang yang berhenti haid dengan perincian sebagaimana berikut: 

 

1. Keluar haid

Bagi wanita yang keluar darah haid, ia akan dianggap mampu melaksanakan shalat dan wajib meng-qhada-nya, jika antara masuknya waktu shalat dan keluarnya darah haid cukup digunakan untuk melaksanakan shalat secara sempurna, dengan standar minimum melaksanakan hal-hal wajib dalam shalat. 

 

Dalam hal ini, waktu yang terlewatkan tidak disyaratkan juga untuk mampu digunakan bersuci, seperti wudlu dan tayamum, jika memang orang yang mengalami haid tersebut bukan termasuk dari orang yang berhadats secara terus menerus (da’imul hadats), seperti orang yang mengalami istihadhoh, keputihan, dan beser kencing atau kentut. Adapun bagi wanita yang dalam kondisi da’imul hadats, waktu yang terlewat disyaratkan melewati waktu tambahan yang kiranya cukup untuk digunakan untuk bersuci dan shalat. (Abdillah bin Husein Ba’alawi, Is’ad Al-Rafiq, Al-Hidayah, Vol. 1, h.72).

 

Misalnya, masuk waktu Ashar pukul 15.00 WIB dan darah haid keluar pada pukul 15.10. Nah, waktu 10 menit tersebut dianggap cukup untuk melaksanakan shalat dengan standar minimumnya.

 

2. Berhenti haid

Bagi wanita yang berhenti haid, waktu yang tersisa disyaratkan hanya cukup untuk digunakan takbiratul ihram, bukan shalat secara sempurna.

 

Hitungan dua kategori waktu sebagaimana di atas, dimulai sejak ia melihat atau mengetahui mulai keluar dan berhentinya darah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyid Abdurrahman Al-Seqaf:

 

كما ان المرأة تحيض برؤية الدم كذالك فانها تطهر بالنقطاع الدم بعد بلوغ اقله بان خرجت القطنة نقية ليس عليها شيئ من اثر الدم

 

Artinya: “Sebagaimana perempuan dihukumi haid dengan melihat darah, maka sesungguhnya ia juga dihukumi suci dengan melihat terputusnya darah setelah darah tersebut mencapai masa minimal haid, sekira kapas yang digunakan untuk melihat darah tersebut keluar dalam kondisi bersih dan tidak terdapat bekas darah sedikit pun.” (Abdurrahman Al-Seqaf, Al-Ibanah wa Al-Ifadhah, [Darut Turast, t.t], h.31-32)

 

Misalnya, masuk waktu Maghrib pukul 18.00 WIB sedangkan ia berhenti mengeluarkan darah saat pukul 18.55. Nah, waktu 5 menit yang tersisa itu dianggap cukup untuk sekedar membaca takbiratul ihram, maka ia juga dianggap menemui waktu shalat. 

 

Perlu dicatat kembali, dua orang tersebut diwajibkan untuk mengqada shalat karena ia masih menemui waktu shalat pada saat suci dari haid dan belum sempat untuk melaksanakannya.

 

Shalat yang Wajib Diqadha

Selain berbeda pada kadar waktu yang menjadi standar kewajiban mengqada shalat, antara orang yang baru mengalami haid dan orang yang berhenti haid beban shalat yang diqadha pun memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Bagi orang yang baru haid, jika ia belum melaksanakan shalat di satu waktu maka kewajiban ia hanya mengqada shalat pada waktu tersebut, tidak untuk shalat pada waktu setelahnya atau sebelumnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Habib Abdillah bin Husain dalam kitabnya:

 

لزمته صلاة ذالك الوقت فيجب عليه قضاءها ان لم يمكنه اداءها في الوقت

 

Artinya: “Wajib bagi Perempuan tersebut mengqada shalat pada waktu itu jika tidak mungkin baginya untuk melaksanakan shalat dalam waktunya”. (Abdillah bin Husein Ba’alawi, Is’ad Al-Rafiq, Al-Hidayah, Vol. 1, h.72) 

 

Sedangkan bagi orang yang berhenti dari haid terdapat ketentuan untuk mengqadha shalat waktu yang ia temui serta shalat sebelumnya jika memang shalat tersebut dapat dijama dengan shalat tersebut, seperti suci di waktu Ashar maka ia juga berkewajiban mengqada’ shalat Dzuhur sebagai shalat yang bisa dijama’ dengan shalat tersebut. Dengan demikian hukum serupa juga berlaku antara shalat Isya’ dan shalat Maghrib. Wallahu a’lam.

 

Ustadzah Shofiyatul Ummah, Pengajar di Pesantren Nurud-Dhalam Sumenep