Oleh Slamet
Agama dan politik memang dua hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Adapun agama, selain mengatur kehidupan vertikal antara manusia dengan Tuhannya, juga menjadi pedoman atas etika pergaulan antara manusia dengan sesamanya. Sementara itu, politik menjadi pengatur sistem kehidupan manusia dalam bernegara yang tentu saja tak bisa dipisahkan dari kekuasaan (power). Lalu, apa jadinya jika agama dan politik dicampuradukkan? Tentu yang terjadi adalah ‘politisasi agama’. Artinya, politik akan mencari pembenaran atas kepentingannya dengan dalih teks-teks agama. Begitu pun agama yang telah menyediakan seperangkat teks yang mampu ditafsirkan sesuai dengan kepentingan pembacanya. Benang merah ‘kemesraan’ agama dan politik ini salah satunya disebabkan karena sifat teks agama yang sangat ‘fleksibel’ dan sifat politik yang sangat pragmatis.
Alhasil, ketika teks-teks agama disampaikan oleh orang atau kelompok yang berkepentingan dengan politik, maka nilai agama akan ‘penuh dengan kepentingan’ dan teks agama tidak lagi menjadi netral. Dalam konteks ini, teks agama kemudian dijadikan legitimasi atas kepentingan politik yang tetap ‘terbungkus’ rapi dalam ‘baju’ agama. Tidak bisa dipungkiri, fenomena inilah yang sempat ‘mewabah’ di Indonesia. Teks-teks agama yang awalnya digunakan untuk kemaslahatan umat, kemudian ditarik-tarik dalam percaturan kepentingan, hingga ‘berhasil’ mengubah mimbar-mimbar suci agama menjadi mimbar politik.
Alhasil, mimbar agama yang sejatinya berfungsi sebagai ‘panggung kecil’ untuk menyampaikan ajaran agama yang humanis kepada para pemeluknya, justru berubah menjadi mimbar-mimbar politik yang ‘bengis’ yang menjadi ‘medan pertarungan’ antar kelompok pemilik kepentingan. Bahkan parahnya lagi, hujatan, cacian, ujaran kebencina, fitnah hingga ajakan untuk melawan pemerintahan yang sah dikumandangkan secara terbuka melalui mimbar-mimbar agama yang suci.
Apakah ini penistaan? Jelas ini adalah penistaan, karena para pengkhotbah yang syarat dengan kepentingan telah melakukan disfungsionalisasi mimbar agama. Disfungsionalisasi yang dimaksud tidak lain adalah mengubah mimbar agama menjadi mimbar politik. Sebut saja, kasus penodaan Lambang Negara, fitnah terhadap tradisi lokal, hingga dugaan penistaan terhadap agama lain yang kesemuanya dilakukan melalui mimbar agama. Alhasil, jarak antara mimbar agama dengan mimbar politik tak lebih tebal dari kulit ari, karena kenyataanya muatan-muatan dalam mimbar agama telah ‘dirasuki’ oleh materi-materi politik. Akibatnya, untuk membedakan antara materi agama atau materi politik sangatlah susah, karena keduanya berbaur dalam simbol dan berbaju ‘agama’.
Pengembalian Fungsi Mimbar
Mimbar agama adalah ‘panggung suci’ yang memiliki magnet besar dalam menggerakan umat. Ajaran-ajaran yang disampaikan melalui mimbar, akan menjadi referensi bagi umatnya, terkhusus mereka yang berasal dari golongan yang minim terhadap tradisi literasi. Di sinilah posisi penyampai materi dalam mimbar sangatlah vital, karena secara personal ia tidak saja menjadi panutan, namun materi yang disampaikan akan menjadi rujukan. Singkatnya, umat akan bisa ‘dengan mudah’ digerakkan dari sebuah ‘panggung suci’ yang bernama mimbar. Lalu siapa yang menjadi penentu arah materi mimbar tersebut? Tidak lain dan tidak bukan adalah para tokoh agamanya.
Oleh karenanya, jika tokoh agama yang seharusnya menjadi penentu arah materi mimbar menjadi bagian dari kelompok kepentingan, maka umat yang akan menjadi ‘korban’. Mimbar-mimbar yang seharusnya menjadi penerang, berbalik menjadi panggung yang mengerikan karena sarat dengan kepentingan. Pun dengan para umatnya yang seharusnya menjadi pembelajar dan pendengar, harus ‘dipusingkan’ dengan materi hujatan, cacian, ujaran kebencian bahkan hasutan dan berakhir pada ‘perang saudara’. Tentu ini hal yang sangat menyedihkan.
Pertarungan politik pun telah memeras keringat dan mengorbankan banyak hal, mulai dari hubungan pertemanan hingga disfungsionalisasi mimbar agama. Namun, pertarungan politik tidak boleh berlarut-larut sampai menjadi penghalang rekonsiliasi antar kelompok kepentingan. Jika hal ini tidak terjadi, pertarungan politik yang awalnya menjadi pertarungan antar kelompok, bukan tidak mungkin akan menjadi pertarungan ‘atas nama agama’. Mengapa? Karena mereka pernah memanfaatkan mimbar agama untuk melakukan ‘doktrinasi’ politik.
Namun, kini Pilkada telah usai, saatnya mimbar agama kembali damai dan kembali difungsikan sebagaimana mestinya. Tidak lain sebagai panggung untuk berbagi ilmu pengetahuan untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Pertarungan dalam Pilkada memang tidak bisa dihindarkan dan merupakan bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, pemanfaatan mimbar agama sebagai panggung politik harus dihentikan, karena ada hal yang lebih besar yang harus diprioritaskan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal ini, butuh kelapangan hati dari tokoh agama agar lebih mengutamakan kepentingan umat yang lebih besar dan menyudahi kepentingan politik yang pragmatis.
Sekali lagi, bahwa tokoh agama adalah panutan umat. Maka sudah seharusnya posisi dari tokoh agama adalah mencerahkan umatnya untuk mengarungi kehidupan dengan damai dan harmonis, sebagaimana yang telah dicita-citakan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Sangat sayang jika umat tidak lagi memiliki panutan karena tokoh-tokohnya menggunakan “baju agama” untuk kepentingan politiknya.
Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta