Oleh Ahmad Nur Kholis
Innalillahi wa Inna Ilaihi raji’uun. Sabtu, 1 maret 2014 waktu isya, saya dibuat terkejut oleh wafatnya seorang tokoh ulama kharismatik, tokoh Nahdlatul Ulama. KH Masduqi Mahfudz. Lagi-lagi kiai panutan Nahdliyin wafat.
<>
Bagi saya, Ia adalah ulama yang penuh tauladan. Saya merupakan orang yang harus menyayangkan, karena tidaklah sempat saya bertatap muka dengannya meskipun sudah lebih 10 (sepuluh) tahun tinggal di Malang.
Saya hanya pernah ke pesantren Kiai Masduki, meskipun tidak sampai menemui beliau karena merasa takut dan grogi. Dan sekarang, saya sangat menyayangkan kesempatan itu tidak saya gunakan.
Meskipun tidak pernah bertemu, kisah-kisah penuh teladan Kiai Masduki sangatlah masyhur terdengar di telinga masyarakat Malang terutama para santri. Dan salah satu keteladanan yang patut dicontoh dari seorang Kiai Masduki adalah gaya hidupnya yang sederhana, dan keteguhan pendirian yang dimilikinya yang bak karang tak tergoyahkan.
Ia terkenal sebagai ulama ahli doa Hizb Nashar. Sebagaimana dikutip oleh majalah AULA pada sekitar tahun 1996. Demikian ini karena memang Kiai Masduki Istiqamah mengamalkan doa hizb karya Syaikh Abil Hasan As-Syadzili itu.
Bahkan kabarnya, dalam setiap acara apapun yang diselenggarakan oleh masyarakat, ia mesti membaca Hizb Nashar. Mungkin saking istiqamah dan Ikhlas serta lurusnya niat, ia sudah tidak perduli pandangan orang. Pokoknya niatnya berdo’a lillahi ta’ala.
Saya tahu nama KH Masduki Mahfudz sudah sejak lama. Bahkan jauh sebelum saya di tinggal Malang. Tepatnya waktu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar di Madura. Selama bertahun-tahun ia mengasuh rubrik Bahtsul Masa’il di Majalah AULA.
Jikalau ingatan saya tidak salah, sebagaimana saya baca di Majalah milik PWNU Jawa Timur itu, sewaktu NU mengadakan Istighatsah Akbar di Lapangan Tambak Sari Surabaya, pada tahun 1996 silam, Kiai Masduki Mahfudz yang waktu itu diberi kesempatan membaca doa, juga membaca Hizb Nashar.
Ada suatu kisah tetang dirinya yang membuat saya terkagum-kagum adalah jalan kehidupan penuh kesederhanaan yang ia pilih. Dikisahkan bahwa, meskipun Ia telah menjadi seorang dosen di sebuah Perguruan Tinggi Negeri, dan Ia sendiri merupakan pegawai negeri di sana, ia tidaklah mengandalkan jabatannya. Kiai Masduki tidak mau mengisi perut dirinya dan keluarganya dari hasil pegawai negeri dan dosen itu. Akan tetapi ia memilih mencari rezeki lewat bekerja keras sebagai sopir angkot.
Jika kita tahu tentang riwayat Imam As-Syadzili pengarang hizib-hizib itu, yang meskipun seorang sufi tapi tetap menjadi pengusaha botol yang sukses, namun hidup dengan penuh kesederhanaan. Rupanya, jiwa Syaikh Abil Hasan As-Syadzili ini benar-benar melekat pada diri KH Masduqi.
Selamat jalan Imam As-Syadzili abad 21. Selamat jalan Imam As-Syadzili Indonesia. Allahummaghfir lahu warhahu wa ‘aafiihi wa’fu anhu.