Opini

Jiwa Entrepreneur pun Terabaikan

Sabtu, 22 September 2012 | 00:42 WIB

Oleh : Mujib Kodar*

 

Di dalam al-Qur’an terdapat 370 ayat yang berkaitan dengan persoalan bisnis dan perdagangan. Selain itu, banyak hadits yang membicarakan keutamaan para pebisnis. Sayangnya orang Indonesia yang mayoritas beragama Islam lebih memilih menjadi karyawan daripada menjadi seorang entrepreneur. Menurut data terakhir jumlah entrepreneur kita hanya 0,18 persen (sekitar 420 ribu orang) dari total penduduk Indonesia. Padahal menurut pakar kewirausahaan David McClellad, minimalnya 2 persen dari total penduduk sebuah negara adalah entrepreneur, baru sebuah negara dapat hidup sejahtera. <>

Negara-negara lain sudah lebih banyak dari angka minimal itu. Mungkin, karena itulah mereka lebih maju secara ekonomi dan lebih bagus secara sosial. Di Malaysia yang menjadi pengusaha mencapai 5 persen, di Singapura jumlah pengusahanya sudah mencapai 7 persen China dan Jepang mencapai 10 persen sedang Amerika Serikat sudah mencapai 12 persen.

Padahal kalau dilihat dari fakta tentang negeri kita, Indonesia kaya raya dengan Sumber Daya Alam (SDA). Karena itulah penjajah datang ke negeri ini untuk mengeksploitasi  dan mengambil SDA kita. Sehingga saking terbiasanya hidup terjajah bangsa kita seakan  lupa dengan adanya SDA itu. Di samping SDA yang berlimpah mulai dari minyak bumi, timah, gas alam, nikel, kayu, bauksit, tanah subur, batu bara, emas, perak, tanah pertanian dan lain-lain, negeri ini juga memiliki penduduk dengan usia angkatan kerja dan pemuda fantastis. 

Data BPS tahun 2010 menyebutkan, penduduk Indonesia saat ini 237.556.363 juta jiwa. Dari jumlah itu, yang tergolong penduduk usia produktif atau angkatan kerja 116,53 juta. Logikanya jika sebuah negara memiliki lahan pekerjaan yang cukup luas dan cadangan tenaga kerja yang berlimpah, maka mestinya negeri ini makmur sejahtera, jumlah penganggurannya sedikit dan tidak ada penduduk miskin yang jumlahnya na’udzubillah seperti saat ini. 

Sehingga karena tidak terjadi keseimbangan antara pencari kerja dan lapangan kerja, sehingga bagi mereka yang tidak punya gelar sarjana, terobosan yang diambil untuk mengatasi pengangguran adalah lari ke luar negeri menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Untuk kepentingan jangka pendek, menjadi TKI memang membantu Indonesia. Selain mengurangi jumlah pengangguran juga memberikan pemasukan devisa negara. Namun untuk kepentingan jangka panjang, tentu saja ini membahayakan dan memalukan SDA negeri ini akan terbengkali atau akan dimiliki bangsa lain karena tenaga kerjanya banyak yang di luar negeri. Untuk mereka yang memegang sarjana ijazah sarjana, tidak berarti nasib mereka lebih beruntung. Mereka harus menanggung beban yang lebih berat. Mau jadi TKI sudah malu duluan, masak sarjana jadi TKI? Mau mencari kerja di dalam negeri jumlah lapangan sudah tidak mungkin mecukupi. Jadinya mereka berebut lapangan pekerjaan yang ada dengan cara apapun agar mereka dapat mengisi lowongan tersebut. Salah satunya adalah dengan jalan sogok-menyogok. Dan sisanya, bagi mereka yang sudah merasa putus asa untuk mencari kerja. Akhirnya mengambil jalan pintas diantaranya yaitu dengan cara mengamen, mencopet, mencuri dan lain sebagainya yang telah dilarang oleh negara seperti yang kita ketahui bahwasanya angka pengangguran itu berbanding lurus dengan tindak kriminalitas. Dari permasalahan tersebut tak dapat dipungkiri bahwasanya, Indonesia saat ini membutuhkan jutaan entrepreneur, bukan para pencari kerja. Hanya peran kaum entrepreneur yang mampu mengeluarkan masyarakat Indonesia dari krisis ekonomi sekarang ini.

Adanya realita tersebut tak ayal, jika jiwa entrepreneurship di Indonesia sudah saatnya untuk digenjot agar mencapai jumlah entrepreneur yang proporsional, minimalnya 2 persen. Jika jumlah itu terpenuhi maka akan ada banyak rongsokan berubah menjadi emas, pasir menjadi permata dan sampah menjadi berlian. Banyak lahan yang bisa kita hidupkan sehingga peluang kerja bertambah dan jumlah pengangguran berkurang. Namun kalau jumlah entrepreneurnya berkurang bisa-bisa emas yang kita miliki berubah menjadi rongsokan, permata yang kita simpan berubah menjadi pasir dan berlian yang kita timbun akan berubah menjadi sampah. Dan SDM kita yang seharusnya menjadi aset malah menjadi beban. Untuk menumbuhkah jiwa entrepreneur bagi bangsa tentunya bukan suatu hal yang mudah. Dan perlu adanya suatu langkah yang pasti untuk menumbuhkan hal itu. Setidaknya ada dua cara efektif untuk menanamkan nilai-nilai entrepreneurship. 

Pertama, pembiasaan dalam keluarga. Semenjak anak-anak masih kecil, orang tua harus sudah memperkenalkan jiwa entrepreneurship. Misalnya, anak-anak diikutkan pada usaha kerajinan atau industri rumah tangga (home industry) yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Tentu saja, sebelumnya sudah disepakati jenis pekerjaan antara pemilik usaha dengan orang tua, sebatas yang terjangkau bagi anak-anak. Tiap akhir minggu, mereka juga digaji sebagaimana pekerja lainnya, sekali pun tidak seberapa. Gaji itu tidak boleh digunakan untuk jajan, melainkan ditabung. Cara ini dimaksudkan agar anak memiliki pengalaman bagaimana menjadi pekerja, sekaligus menanamkan pelajaran bagaimana menghargai hasil keringat sendiri  dengan cara menabung uang hasil kerjanya. 

Lebih dari itu, dengan bekerja di home industry anak-anak memperoleh dua keuntungan; mereka memiliki pengalaman bekerja, menghayati dunia usaha dan sekaligus merasakan bagaimana hidup sebagai pekerja. Sekali dalam sebulan, anak-anak ditugasi ke pasar. Mereka harus mencari informasi berbagai harga barang-barang di pasar, seperti harga gula, beras, berbagai macam sayur, peralatan rumah tangga dan lain-lain. Anak-anak juga disuruh menanyakan satu persatu harga berbagai barang sekali pun tidak membelinya. Selanjutnya, hasil survai pasar tersebut dianalisis dan dijadikan bahan diskusi rutin tiap bulan di lingkungan keluarga. Kegiatan ini dimaksudkan agar anak menjadi akrab dengan kehidupan nyata, mampu berkomunikasi dengan baik, mengemukakan pendapat, menarik kesimpulan, sekaligus membiasakan diri selalu mengikuti perkembangan ekonomi sehari-hari. 

Kedua, penanaman entrepreneurship melalui pendidikan. Di sekolah/Perguruan Tinggi, perlu dimasukkan pelajaran atau mata kuliah entrepreneurship. Pelajaran entrepreneurship itu, harus disajikan secara sistematis serta disesuaikan dengan tingkatan pendidikan dan usia peserta didik. Kemasan pelajaran juga harus menarik minat peserta didik, sehingga mereka merasa enjoy mempelajarinya, tidak ada paksaan dan belajar dalam kondisi gembira. Sekali waktu, sekolah perlu mengundang para pelaku bisnis yang sukses. 

Mereka diminta menerangkan atau menceritakan perjalanan hidup mereka, dan bagaimana kiat-kiat agar usaha bisa sukses. Kisah hidup itu, paling tidak akan merangsang anak untuk meniru atau meneladaninya. Jika memungkinkan, anak-anak juga diikutkan dalam kegiatan magang kerja di suatu usaha. Tujuanya, selain memperkenalkan anak pada kondisi usaha riil, mereka juga bisa melihat langsung praksis dari teori-teori yang telah diperolehnya. Dan pembelajaran kewirausaan, akan lebih efektif jika sekolah juga mendirikan usaha nyata. Misalnya, sekolah mendirikan gerai penjual makanan, simpan pinjam, jasa tiket transportasi, perbankan, kursus bahasa asing dan sebagainya.

Selanjutnya, anak didik secara bergantian mendapat tugas berpraksis di situ, dengan target-target yang telah ditentukan, sebagaimana kegiatan magang. Pendirian dunia usaha di sekolah itu bertujuan mengakrabkan anak didik antara teori dan praktik nyata. Seperti yang telah dilakukan oleh pondok modern Gontor disamping mendirikan usaha-usaha milik pesantren yang dikelola oleh santri sendiri seperti percetakan, toko buku, penggilingan padi pihak pesantren juga memberi ajaran hidup kepada santri yang berbunyi “jangan jadi pegawai, jadilah orang yang punya pegawai” akhirya dengan adanya upaya tersebut pihak pondok sudah bisa mandiri jika tanpa ada iuran dari santri atau bantuan pemerintah, pondok modern Gontor mampu berjalan dengan hasil usahanya sendiri. Ini adalah salah satu contoh kecil di suatu lembaga, dan contoh ini bisa dikembangkan lagi ke tingkat nasional.  

Pada akhirnya, semangat dan jiwa entrepreneur merupakan pondasi ampuh bagi bangsa ini menghadapi krisis finansial global, maupun peningkatan angka pengangguran. Tatkala pendidikan entrepreneurship yang ditanamkan melalui keluarga dan pendidikan formal  telah berjalan efektif, maka tidak menutup kemungkinan akan lahir jiwa-jiwa entrepreneur baru di negeri kita ini. Dan jika perkembangan jumlah entrepreneur terus meningkat dan melebihi dari 2 persen maka Indonesia untuk menjadi Negara besar akan terwujud. Semoga. 


* Pimpinan redaksi MAHAmedia, buletin Ma’had Aly Tebuireng


Terkait