Opini

Deradikalisasi Virtual dan Pendidikan

Sabtu, 29 April 2017 | 06:01 WIB

Deradikalisasi Virtual dan Pendidikan

Gambar ilustrasi.

Oleh Fathoni Ahmad

Di era digital seperti sekarang, manusia dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Pertama, Digital Immigrant, yaitu kelompok yang sedari lahir tidak ada internet, namun kemudian menganal dan aktif di dalamnya. Kedua, Digital Native, yaitu orang yang sedari lahir sudah ada internet. Persamaan dari kedua kelompok dapat dipahami bahwa mereka akhirnya sama-sama menggunakan internet untuk ‘kebutuhan’ interaksi dan mobilitasnya, baik di dunia nyata dan maya.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi yang semakin pesat, pendidikan sebagai investasi masa depan generasi bangsa harus bisa menyesuaikan diri. Semisal dapat memanfaatkan era digital ini sebagai media pembelajaran bagi siswa di madrasah dan sekolah, bahkan pesantren. Akses informasi di era digital ini memungkinkan siswa lebih mengetahui informasi terlebih dahulu ketimbang guru. Tentu hal ini tidak akan membuat guru menjadi ketinggalan dibanding siswanya, karena keberadaan guru di kelas dan lingkungan sekolah lebih kepada memfasilitasi siswa untuk belajar.

Dalam ilmu pedagogik, belajar dapat didefinisikan merupakan sebuah perubahan tingkah laku siswa ke arah yang lebih baik. Tingkah laku di sini bukan hanya berarti kemampuan siswa secara afektif, tetapi juga kemampuan siswa dari sisi kognitif dan psikomotorik. Di titik inilah, guru yang bisa dikatakan sebagai kelompok Digital Immigrant keberadaannya sangat penting bagi siswa, yaitu membimbing siswa agar belajar memanfaatkan penggunaan internet ke arah yang lebih positif untuk keperluan belajar di sekolah.

Dengan kata lain, Digital Immigrant ada untuk membelajarkan para Digital Native agar dapat memanfaatkan internet sebagai media meningkatkan kualitas belajar siswa. Dalam hal ini, guru juga dituntut mengikuti perkembangan arus informasi di era digital melalui kanal-kanal media sosial, misalnya. Dalam kanal inilah, siswa dapat diarahkan untuk membentuk kelompok belajar secara berkesinambungan karena kanal media sosial tidak terbatas ruang dan waktu.

Namun demikian, media sosial atau media lain di dunia maya hanyalah alat (instrumen) bukan tujuan. Artinya, alat tidak bisa menggantikan posisi guru. Sebab alat tidak mempunyai sisi humanitas (kemanusiaan). Oleh sebab itu, kehadiran guru secara emosional sangat penting untuk menumbuhkembangkan sisi kemanusiaan seorang siswa.

Dakwah virtual

Euforia media sosial yang saat ini hampir pasti dipunyai oleh setiap individu, menuntut guru agar lebih memahamkan kepada siswa akan arti positif media sosial dan hadirnya ribuan portal-portal berita. Apalagi saat ini, tak sedikit yang memanfaatkan internet untuk menumbuhkembangkan paham ekstrem meresahkan di tengah masyarakat. Hal ini penting menjadi perhatian guru, karena selama ini paham-paham tersebut sangat gencar menyasar anak-anak muda usia sekolah.

Keterbukaan dan luasnya informasi publik yang didukung oleh perkembangan teknologi berdampak pada mudahnya aksesibilitas. Dengan kondisi demikian, guru tidak bisa sekadar acuh tak acuh (apriori) apalagi sangat terkait dengan perkembangan para siswanya. Melihat perkembangan paham radikal yang terus berusaha menyasar anak usia sekolah, guru dan pihak sekolah harus berpartisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh para siswanya. Wahana seperti organisasi Kerohanian Islam (Rohis) jangan dibiarkan liar, justru wadah ini harus dimanfaatkan oleh guru untuk menanamkan pemahaman keagamaan yang baik dan benar, sejuk, ramah, dan menghargai perbedaan.

Pada akhirnya, era digital menyadarkan dunia pendidikan akan arti penting sebuah inovasi yang harus terus menerus dikembangkan. Dunia pendidikan tidak perlu anti terhadap siswa yang saat ini gandrung dengan media sosial. Sebaliknya, semua elemen (stakeholders) pendidikan harus mampu memanfaatkan potensi media sosial di era digital ini agar pembelajaran di kelas lebih berkualitas. Lagipula, media pembelajaran yang ramah dan damai dapat dikembangkan melalui perkembangan dunia digital.

Media seperti ini sudah dibuat dan diterapkan oleh The Wahid Foundation dengan menciptakan instrumen ‘Negeri Kompak’ pada 2014. Dalam media pembelajaran ini, anak-anak dididik tentang keberagaman Indonesia yang harus ditopang dengan saling menghargai dan menghormati di tengah perbedaan dan kemajemukan. Dalam media ini, anak-anak tertarik karena dikemas secara apik dan menarik dalam bentuk visualisasi aktif. Artinya, tak hanya berupa gambar, tetapi juga berbagai keterangan yang tersemat di dalamnya.

Di era digital ini, berbagai media serupa dapat diciptakan guna mengisi dunia digital atau dunia maya dengan pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang baik demi keutuhan bangsa. Jangan membiarkan dunia maya didominasi oleh gambar, video, maupun narasi-narasi ekstremis, melainkan masyarakat harus berperan aktif dengan mengisi dunia maya dengan narasi-narasi positif terkait paham keagamaan dan kebangsaan dengan berbagai media. Secara virtual, media-media inilah yang dapat dimanfaatkan juga oleh guru untuk memberikan pemahaman keagamaan yang baik dan benar kepada siswanya dalam upaya melakukan deradikalisasi di dunia pendidikan. Wallahu a’lam bisshowab.

Penulis adalah Redaktur NU Online.


Terkait