Nasional

Guru Non-ASN Tanggapi Sri Mulyani: Negara Tak Boleh Lepas Tangan soal Kesejahteraan

Ahad, 17 Agustus 2025 | 16:00 WIB

Guru Non-ASN Tanggapi Sri Mulyani: Negara Tak Boleh Lepas Tangan soal Kesejahteraan

Achmad Mashfufi saat mengajar mapel Geografi di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama 01 Banyuputih, Batang, Jawa Tengah. Foto ini diambil ketika masa pandemi Covid-19. (Foto: dok. pribadi)

Jakarta, NU Online

Pernyataan Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, dalam acara Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di Bandung, yang menyinggung rendahnya gaji guru dan dosen, menuai tanggapan dari kalangan pendidik.


Dalam pidatonya, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa masalah kesejahteraan guru dan dosen tidak dapat dengan mudah dituntaskan hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, keterbatasan anggaran menjadi tantangan besar dalam menjawab persoalan yang sudah berlangsung lama ini.


“Apakah semuanya harus berasal dari keuangan negara atau ada partisipasi dari masyarakat?” kata Sri Mulyani pada 7 Agustus 2025 dikutip dari kanal Youtube Institut Teknologi Bandung.


Menanggapi hal tersebut, seorang guru swasta Non-ASN asal Batang, Jawa Tengah, Achmad Mashfufi, menyayangkan adanya kesan kebuntuan negara terkait kesejahteraan guru.


"Kami cukup menyayangkan adanya rasa kebuntuan dari negara dalam hal kesejahteraan guru. Kami sebagai guru Non-ASN tidak mau jauh menyampaikan hal tersebut. Karena bagi kami, menjadi guru adalah pilihan dan panggilan hati," kata Mashfufi saat diwawancarai NU Online, Ahad (17/8/2025).


“Kalau bukan negara, siapa lagi yang harus bertanggung jawab menyejahterakan para guru? Dari pernyataan yang dilontarkan Ibu Sri Mulyani, ada nada kejujuran dan kondisi apa adanya di pemerintah saat ini dalam hal anggaran untuk kesejahteraan guru,” lanjutnya.


Mashfufi menilai program Pendidikan Profesi Guru (PPG), khususnya di Kementerian Agama (Kemenag), menjadi angin segar bagi para pendidik Non-ASN. Ia berharap program tersebut berjalan sesuai rencana dan janji pemerintah.


“Jika boleh berkata, bukan gaji besar yang kami tuntut, tapi adanya keadilan dan perhatian dari pemerintah. Kami sebagai guru swasta Non-ASN merasa mengalami kesenjangan, padahal kami memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam mencerdaskan kehidupan anak bangsa,” tutur Magister Pendidikan Geografi Universitas Sebelas Maret Surakarta itu.


“Semoga dengan munculnya pernyataan ini, menjadikan pemerintah bisa berbenah dan benar-benar menyadari bahwa para pendidik di negara kita masih belum sejahtera, khususnya guru swasta. Semoga segera ada solusinya,” tegasnya.


Adapun guru yang berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2024 tentang Gaji dan Tunjangan PPPK. Rentang gajinya berkisar antara Rp1,9 juta hingga Rp7,3 juta, tergantung golongan masing-masing.


Berbeda dengan ASN dan PPPK, guru honorer menghadapi kondisi yang jauh lebih sulit. Berdasarkan survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada tahun 2024, sebagian besar guru honorer menerima penghasilan sangat rendah. Sebanyak 74 persen guru honorer mendapat gaji di bawah Rp2 juta per bulan, bahkan 20,5 persen di antaranya hanya memperoleh penghasilan di bawah Rp500 ribu per bulan.


Data survei IDEAS tersebut menunjukkan adanya kesenjangan gaji antarstatus kepegawaian guru. Di satu sisi, negara berupaya mengatur melalui regulasi gaji PNS dan PPPK. Namun di sisi lain, masih banyak guru honorer yang bertahan dengan gaji minimal, jauh dari kata layak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.