Daerah

Mengajar Ngaji Kitab Kuning kepada Anak-anak dengan Lagu

Kam, 23 Juli 2020 | 08:01 WIB

Mengajar Ngaji Kitab Kuning kepada Anak-anak dengan Lagu

Suasana anak-anak mengaji di Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat. (Foto: Ahmad Syauqi/Buntet)

Cirebon, NU Online

Bukan perkara mudah mengajar anak-anak. Pasalnya, usia mereka masih dalam tahap bermain sehingga butuh pendekatan khusus dalam memberikan pendidikan dan pengajaran agar mudah dipahami. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah menstimulasinya dengan lagu.


H Imaduddin Zaeni sudah lebih puluhan tahun mengajar ngaji anak-anak. Di beranda rumahnya, di Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, beberapa anak kecil yang baru dan masih duduk di Sekolah Dasar melingkar di hadapannya guna mengaji kitab-kitab kecil, mulai dari Safinatun Naja, Tijan Darari, Qatrul Ghaits, Riyadul Badi’ah, hingga Sullamut Taufiq.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Pengajian yang diampunya diikuti oleh anak-anak tersebut dengan sangat antusias. Mereka akan saling bersahut-sahutan, berupaya membaca kata demi kata, lengkap dengan maknanya, dengan suara paling keras.


Hal tersebut dilakukan oleh mereka bukan tanpa alasan. Sebab, meskipun kitab berupa natsar, tetapi Kang Imad, sapaan akrab H Imaduddin Zaeni, membacanya dengan lagu. Kalimat tertentu akan dibaca melenggok, nada turun, nada naik, dihentak, datar, dan sebagainya.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


“Supaya mudah dihafal. Dengan mudah dihafal akan lebih mempercepat pengertian. Anak-anak kan suka dengan lagu-lagu,” katanya kepada NU Online pada Kamis (23/7).


Anak-anak di usia tersebut tentu tidak tiba-tiba bisa membaca kitab bermakna tersebut. Karenanya, selain membaca secara bersama-sama, mereka juga membaca satu-persatu di hadapannya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Suasana anak-anak mengaji di Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat. (Foto: Ahmad Syauqi/Buntet)

 

Dengan begitu, ia dapat membetulkan kesalahan baca setiap individunya. Saat membaca bersamaan, ia juga turut serta membarengi mereka, tidak berdiam. Hal demikian supaya jika terjadi kesalahan baca, anak-anak langsung terkoreksi dengan sendirinya.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Bacaan tersebut diulang berkali-kali, baik itu sebelum pengajian berlangsung, maupun setelah Kang Imad membacanya. Dengan begitu, kalimat demi kalimat beserta makna-maknanya dapat dengan sendirinya dihafal oleh anak-anak tersebut, tanpa harus meminta mereka menghafalnya.


Meskipun membacanya secara berulang-ulang, anak-anak tersebut tidak merasa bosan karena seperti bernyanyi, terkadang dilakukan sembari bercanda dengan kawan-kawannya.


Pengajian yang dilakukannya bukan seperti sistem sorogan di mana santri fokus membaca kitab secara berulang-ulang saja, tetapi mereka juga diberi pemahaman atas teks yang dibacanya. Menurutnya, cara memberikan pemahaman agar lebih mudah diterima anak-anak adalah dengan menggunakan peraga atau praktik secara langsung.


Dalam menjelaskan shalat mayit, misalnya, ia meminta seluruh anak-anak tersebut berbaris. Salah satunya ditunjuk menjadi imam. Posisinya pun diatur sesuai mayit yang dishalatinya. Sebagai peraga mayit, ia mengambil bantal guling. Dengan begitu, anak-anak dapat melaksanakan shalat mayit.


Hal demikian juga dilakukannya berulang pada pertemuan berikutnya sebagai bentuk mengingat. Sementara bacaan shalat mayit itu juga dilakukan berkali-kali saban mengaji selama beberapa pertemuan.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad

ADVERTISEMENT BY ANYMIND