Wawancara HARI SANTRI 2019

Santri Miliki Keunggulan Atasi Problem Dunia Modern

Jum, 11 Oktober 2019 | 08:30 WIB

Santri Miliki Keunggulan Atasi Problem Dunia Modern

Pemimpin Pesantren Ciganjur Gus Arif Rahman Hamid. (Foto: Dok. PP Ciganjur/Muntaha)

Hari Santri yang diperingati setiap tahun, tepatnya tiap 22 Oktober, memiliki arti penting dan kenangan khusus tak hanya bagi para santri. Namun, juga di benak para pengasuh pesantren. Untuk edisi kali ini, NU Online menurunkan wawancara dengan Pengasuh Pesantren Luhur Ciganjur yang beralamat di Jalan Warung Sila No 10 Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Pesantren peninggalan Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini kini dipimpin keponakan Gus Dur, yakni H Arif Rahman Hamid. Tak hanya ditunjuk mengemban tugas memangku pesantren, Mas Yai, sapaan akrabnya, juga didapuk menjadi Ketua Yayasan KH A Wahid Hasyim. 

Di sela aktivitas Mas Yai yang demikian padat, Wartawan NU Online Musthofa Asrori berhasil ‘mencuri’ waktunya untuk menjawab sejumlah pertanyaan terkait Hari Santri melalui telepon pintar (smartphone) beberapa hari lalu. Di antara yang dia tekankan ialah walau berilmu tinggi, santri harus tetap rendah hati.

“Jujur saja, saya agak gelagapan juga tiba-tiba diwawancarai NU Online. Sempat terpikir, apa kapasitas saya sampai dimintai pendapat mengenai Hari Santri. Tapi berhubung yang meminta tanggapan adalah santrinya Gus Dur, maka saya pun memberanikan diri untuk sedikit memberikan opini,” ujarnya dengan gaya khas santri.

Bagaimana pandangan, pesan, dan harapan Mas Yai tentang Hari Santri? Berikut petikan wawancara selengkapnya dengan putra bungsu Nyai Hj Aisyah Hamid Baidlowi ini.

Apa yang terbersit dalam benak Mas Yai terkait Hari Santri?

Hari Santri sebenarnya sama saja dengan hari-hari lainnya. Kehidupan berjalan sebagaimana mestinya. Sholat tetap harus dijalankan lima waktu. Makan tetap dilakukan 2-3 kali sehari. Bagi yang memiliki hutang, tetap harus melunasi kewajibannya melunasi hutang. Tidak ada yang berubah. Kalaupun ada yang berubah, sepertinya adalah menu yang didapatkan oleh para santri pada hari ini. Ada sedikit kemewahan pada menu makanan pada Hari Santri setiap tahunnya.

Lepas dari kesamaan dengan berjalannya hari-hari lain, patut diapresiasi usaha pemerintah dengan menjadikan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. Setidaknya pada Hari Santri, para santri harus mampu menjadikannya sebagai sebuah titik milestone setiap tahunnya, untuk bisa menjadi santri yang lebih berilmu, lebih tawakkal, lebih tawadlu’ daripada tahun-tahun sebelumnya. 

Kalau tahun lalu baru bisa khatam Qur’an setahun sekali pada bulan Ramadhan saja, maka setelah melewati Hari Santri mudah-mudahan para santri bisa khatam Qur’an setiap bulan. Kalau tahun lalu baru hafal 10 juz, mudah-mudahan tahun berikutnya sudah bisa hafal 20 juz. Kalau tahun lalu baru hapal dan paham kitab Riyadlus Sholihin saja, mudah-mudahan hari santri berikutnya sudah hafal dan paham kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim.

Namun, dengan ketinggian ilmu yang didapat, tetap diiringi dengan kerendahan hati sebagai manusia dan kepatuhan kepada guru.Karena hal ini yang semakin hilang dari sifat manusia pada zaman milenial ini.

Bisa dikisahkan suasana pesantren pasca Gus Dur?

Sepeninggal Gus Dur, Pesantren Luhur Ciganjur sempat mengalami kekosongan kepemimpinan selama kurang lebih empat tahun. Alhamdulillah, santri-santri yang sempat berinteraksi dengan Gus Dur secara langsung memiliki sifat militan dan kreatif. Meskipun tanpa adanya sosok kiai di Pesantren Luhur Ciganjur, para santri tersebut masih tetap menjalankan kegiatan rutin seperti biasanya. Bahkan, mendirikan dua sub unit Yayasan.

Pertama, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) Al-Munawwaroh yang mengajarkan santri-santri cilik untuk membaca Al-Qur’an dengan menggunakan metode Qira’ati. Kedua, Madrasah Diniyah Al-Munawwaroh bagi santri-santri cilik yang telah menamatkan TPQ yang ingin melanjutkan pendidikan agamanya dengan hafalan, bahasa Arab, dan kitab-kitab fiqih.

Alhamdulillah kegigihan santri-santri tersebut diganjar oleh Gusti Allah dengan meningkatnya jumlah santri-santri cilik yang mendalami ilmu agama hingga mencapai 180 anak yang hadir ke lingkungan Pesantren Luhur Ciganjur setiap sore hari.

Pasca Gus Dur, apa terobosan terbaru untuk Pondok Pesantren Luhur Ciganjur?

Belum banyak terobosan yang dilakukan oleh pihak Yayasan pasca kepemimpinan Gus Dur. Upaya yang ingin dilakukan oleh Pengurus Yayasan adalah melakukan inventarisasi aset-aset Yayasan yang merupakan warisan dari Penggagas Pondok Pesantren Luhur Ciganjur, yaitu ibu Nyai Hj Sholihah Wahid Hasyim.

Selain itu, kami ingin melengkapi segala dokumen perizinan agar semua kegiatan sosial, pendidikan, dan keagamaan yang dilakukan di lingkungan Pesantren Luhur Ciganjur merupakan kegiatan yang legal di mata hukum.

Mudah-mudahan pada Hari Santri nanti banyak yang berkenan menghadiahkan surah Al-Fatihah agar segala proses inventarisasi aset dan perizinan Yayasan bisa berjalan lancar, mulus, tanpa ada hambatan yang berarti. Aamiin.

Bagaimana respon njenengan terhadap santri milenial?

Terkait dengan fenomena Santri Milenial, dalam pemahaman saya istilah Santri Milenial adalah murid-murid yang belajar di pesantren pada tahun 2010 ke atas.Dimana santri-santri tersebut berada dalam sebuah lingkungan pendidikan Islam yang mengajarkan keilmuan Islam berdasarkan ajaran dari kiai pondoknya.

Di sisi lain, santri-santri ini memiliki keleluasaan untuk melihat berbagai informasi yang begitu derasnya, nyaris tak terbendung, karena maraknya gadget dan mudahnya mendapatkan sambungan internet hamper di seluruh pelosok negeri.

Dibanding santri tempo dulu? 

Jelas berbeda dengan kondisi para santri pada era 90-an ke belakang. Untuk mengakses informasi yang dibutuhkan, santri harus melalui guru yang mumpuni, kitab-kitab karya alim ulama, karya tulis yang pernah dibuat santri-santri senior yang telah lulus. Nah, santri milenial saat ini banyak mendapatkan kemudahan cara untuk mengakses informasi melalui search engine, media sosial, maupun video-video ceramah yang bertebaran di dunia maya.

Meskipun tidak sedikit informasi-informasi yang berada di dunia maya ini yang tepat dan akurat, namun banyak pula informasi-informasi yang menyesatkan. Dibutuhkan kebijakan dan kedewasaan dari dalam diri santri untuk mampu memilah mana informasi yang benar dan mana yang hoaks.

Lepas dari berbagai ragam keilmuan yang beredar di internet, tetap ada hal-hal yang tidak bisa disalurkan dengan pola pembelajaran online, yaitu keberkahan dan keteladanan. Keberkahan dan keteladanan macam apa yang bisa diperoleh oleh santri dari gurunya jika gurunya saja tidak pernah bertatap muka dan bertegur sapa dengan muridnya.

Semoga santri milenial hanya menjadikan dunia maya sebagai informasi tambahan atau sekedar referensi dan tetap mendapatkan sosok guru yang memang layak untuk digugu dan ditiru.

Apa yang harus dilakukan santri di era revolusi industri 4.0?

Era industri 4.0 adalah sebuah era di mana persaingan antara masing-masing individu sudah sedemikian tingginya. Materialisme, kapitalisme, liberalisme, dan paham isme-isme lainnya pun sudah tidak dapat lagi dipungkiri. Nyata dan jelas berada dalam keseharian manusia pada umumnya. Santri-santri memiliki satu keunggulan dalam mengatasi problem-problem dunia modern.

Selama mereka memegang teguh ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) secara utuh, Insyaallah mereka masih memiliki tabir untuk menangkal pemikiran-pemikiran yang fokus hanya kepada dunia saja.

Di sisi lain, beban berat bagi santri-santri adalah mereka dituntut untuk memiliki kemampuan lain untuk bisa beradaptasi dengan kehidupan kerja secara profesional nantinya. Dibutuhkan ketelatenan tersendiri untuk mampu menjalani dua kehidupan dengan mendalami ilmu agama dan ilmu akademis.

Memang tidak akan mudah. Tetapi jika santri-santri mampu menjalani dua disiplin ilmu tersebut, Insyaallah mereka akan mampu menjadi sosok profesional yang menjadi teladan bagi rekan-rekan kerja atau usahanya yang lain dan dijauhkan dari sifat-sifat yang zalim.

Pesan dan harapan njenengan bagi santri Ciganjur dan santri pada umumnya?

Untuk memberi pesan dan harapan bagi santri-santri secara keseluruhan, saya merasa tidak mampu untuk mencarikan pesan moral yang pas. Masih jauh lebih banyak orang berilmu yang lebih pantas untuk memberikan pesan dan harapan untuk santri-santri.

Izinkan saya mendoakan dari dalam hati saja, agar santri-santri yang ada di Indonesia nantinya menjadi manusia-manusia berilmu tinggi yang mampu mengamalkan ilmunya.Tetapi memiliki hati seperti air, yang selalu mengalir kemana pun mencari tempat yang lebih rendah, artinya rendah hati. (*)