Wawancara

NU Struktural untuk Lengkapi NU Kultural

Rab, 28 Februari 2007 | 13:07 WIB

Polemik antara NU kultural dan struktural sampai sekarang belum selesai. Seolah-olah keduanya berjalan sendiri-sendiri atau bahkan saling berhadapan dan tidak bisa membangun sinergi. Bagaimanakah sebenarnya relasi antara keduanya dan apa yang harus dilakukan untuk membangun jembatan diantara keduanya. Berikut ini wawancara dengan ketua PBNU Masdar F. Mas’udi dengan NU Online beberapa waktu lalu seusai rapat pengurus harian.

<>NU berawal dari sebuah komunitas kultural yang kemudian membentuk organisasi, Bagaimana proses ini berjalan?

NU yang didirikan oleh Mbah Hasyim itu NU organisasi, kalau kultural sudah ada beberapa ratus tahun sebelumnya. Ini berkat kerja kekiaian para ulama kita. Jadi NU organisasi yang dibawa oleh Mbah Hasyim untuk melengkapi NU kultural yang sudah berjalan dan akan terus berjalan. Tapi kalau pengurus NU organisasi kerjanya seperti NU kultural, ini namanya reduncance. Ini tak ada nilai tambahnya sama sekali, karena ngaji, tahlilan, ini kerjanya kiai-kiai kultur itu. Bukan kerja organisasi. Kalau organisasi mengerjakan ngaji, tahlilan, dibaan, ini sebenarnya mengambil alih fungsi yang dijalankan oleh para kiai secara pribadi-pribadi. Jadi pengurus NU itu ke sana ke mari kerjanya jangan pengajian umum, menurut saya begitu, tugasnya pengurus menghadiri rapat kerja, kalau istighotsah dan pengajian ya kerjanya para kiai yang sudah ada. Kerjanya organisasi rapat mengambil keputusan untuk mencapai tujuan tertentu yang dikerjakan dalam waktu tertentu. Sayang yang dilakukan oleh teman-teman pengurus NU masih kerja-kerja kultural, mengambil oper peran para kiai.

Kerja NU adalah kerja sosial yang tidak bisa dilakuan oleh para individual, apa itu, membimbing umat dalam berbangsa, bernegara, membangun ekonomi umat, kesehatan, dan lainnya. Ini penting karena kebesaran umat ya disitu, dalam realitas kehidupan umatnya. Kalau akidahnya, urusan para ulamanya sebagai pribadi-pribadi ada atau tidak ada organisasi. Jadi kerja NU itu lain.

NU organisasi itu rukunnya kan ada 4, ada jamaah, ada tujuan bersama, ada kepemimpinan atau pengurus dan ada aturan main yang disepakati bersama. Tapi yang paling penting adanya jamaah atau warga dan kepemimpinan, tapi yang sekarang ada baru pengurus, lha jamaahnya mana, ya kultural. Ini yang tidak memenuhi standard organisasi. Warga NU organisasi tidak sekedar warga NU kultural, ini tidak memenuhi tujuam Mbah Hasyim

Bagaimana membuktikan bahwa seseorang menjadi anggota organisasi, ya harus punya bukti formal, seperti Kartanu, bukan kunut, tahlilan, ini penting sekali. Kalau kunut ya NU kultural bukan organisasi. Kalau kita lihat sekarang ini, kita umpamakan sebagai sebuah sholat berjamaah, tujuannya sudah ada, berkhidmat, ada imamnya, ada aturan main. Jamaahnya ini yang belum benar, karena apa, karena belum ada bukti formal, yang punya Kartanu sangat terbatas. Jadi yang ada baru keanggotaan kultural, ini belum disebut keanggotaan organisasi. Kedua, keanggotaan organisasi itu harus ditunjukkan dengan bukti formil, kartu anggota, ketiga, keanggotaan efektif, jadi dilihat secara kultural sesuai NU, secara organisasi memiliki kartu dan secara fungsional ia mendukung kerja NU. Kalau anggota biasa memberi kontribusi iuran, kalau pengurus ya memberi kontribusi keuangan dan tenaga. Ini yang harus dibangun ke depan.

Jadi kalau diibaratkan pohon, organisasi NU itu akarnya belum masuk ke bumi, karena buminya NU itu ibarat pohon warganya. Nah pohon itu kan kepengurusan, lha yang menyentuh warga kan belum tumbuh secara semestinya. Kalau ada yang paling bawah kan ranting. Itu rata-rata sebagian besar wilayah belum ada. Kalau di Jawa juga belum merata. Umumnya ditunjuk oleh pengurus atasnya karena kenal. Ia tidak punya basis ke bawah dan ibarat akar tidak masuk ke buminya. Jadi menggantung. Kalau akar menggantung tidak bisa menyerap nutrisi ke bumi. Jadi harus ada perangkat organisasi yang merasuk ke dalam basis warga dan ada di tengah-tengah warga. Dan di dalam ART dalam pasal 14 ayat 4 disitu disebutkan dapat dibentuk kelompok anak ranting (KAR) dengan keanggotaan minimal 10 orang. Lalu dimanakah tempatnya anak ranting itu, apakah mengikuti RT atau RW kan mengikuti struktur pemerintahan, tetapi NU sebagai organisasi keumatan ya mengikuti tempat umat berada, dimana, ya di masjid. Kita tidak bisa mengklaim umat di pasar, di sawah, di jalan atau yang lainnya. NU itu organisasi keumatan, ya harus berkonsentrasi dimana umat berkumpul. Saya kira 70-80 persen masjid yang ada di negeri kita secara kultural masih NU, mereka adalah potensi dari jamaah NU, tinggal menjamiyahhkan, tidak sekedar kultural, ini yang dilakukan oleh Mbah Hasyim. Bagaimana meng-NU-kan secara organisatoris NU kultural yang sudah ada ratusan tahun yang lalu.

Kalau organisasi NU mulai dari daunnya atau atau pusatnya yang terlihat dimana-mana sampai dengan akarnya bukan saja akar tunjang, yang dapat dikatakan sebagai MWC atau rantingnya, tetapi akar serabutnya yang dapat disepadankan dengan anak ranting. Inilah yang paling menghujam ke bumi. Inilah yang paling menyerap nutrisi. Ini seperti dikatakan dalam al Qur’an “akarnya merasuk dalam bumi, cabangnya menjulang tinggi ke langit dan terus menerus memberikan buah karena menyerap nutrisi dari umat"

Dengan masjid sebagai unit terkecil dari jamiyyah NU, maka kegelisahan mesjid kita di ambil orang, itu bisa dinetralisir, tidak mungkin kalau di setiap masjid ada aktifitas NU kemudian orang berani menganggu masjid kita disamping kita memperkuat organisasi sampai ke basis. Jadi kelompok anak ranting ini kepengurusannya seperti yang lain, ada syuriah, ada tanfidziyah, jadi di setiap titik di setiap kampung, warga masyarakat bisa ketemu dengan pengurus NU, kapan saya, terutama habis waktu sholat , jadi bisa diomong, “tadi habis subuh saya ketemu rais syuriah, tadi saya habis berdiskusi dengan ketua tanfidziyah”, sekarang ini kalau mau ketemu dengan rais syuriah kan seperti seperti melangit. Jadi kita bikin organisasi di setiap titik yang memungkinkan umat bisa ketemu dengan pemimpinnya dengan sangat mudah. Kalau ini terjadi, baru dikatakan sebagai organisasi yang betul-betul kuat. Dan ini sekali lagi hanya NU yang bisa melakukan.

Ketiga, dengan membentuk anak ranting, kita bisa mentransformasikan kelompok jamaah masjid menjadi kelompok pengembangan dan pembangunan masyarakat di tingkat basis, karena fungsi kelompok yang ada di masjid dan musholla sebagai KAR bisa memberikan penerangan pembangunan semua sektor bisa, kesehatan, lingkungan, kebersihan, pengamanan musibah, ini bisa digerakkan dari masjid dan musholla. Tapi masjid ini harus menjadi basis NU. Ini penting saya katakana Makanya saya tegaskan NU tidak akan, tidak butuh, dan tidak boleh mengambil masjid yang dibangun orang lain. Bahwa orang lain kelakuannya begitu biarlah, NU hanya ingin ngopeni apa yang menjadi haknya dan tidak boleh menyerobot hak orang lain. Prinsipnya laa tadzlimun wala tudzlamuun, Kita tidak boleh mendholimi orang tapi kita juga tak mau didholimi orang lain, kita tidak mau, kita lawan. Itu prinsipnya

Jadi kai-kiai masjid atau musholla, kita jadikan raisnya, khatibnya, atau tanfidznya, semua harus dirawat. Kita harus mengewongke, Dan sudah terbukti di beberapa titik kayak di Banyumas. Satu kecamatan bisa terbentuk 105 anak ranting karena disitu ada 120 mesjid. Ini akan membikin masjid ramai karena kepengurusan minimal membutuhkan pengurus sampai 25 orang mulai dari mustasyar, syuriah, tanfidziyah, lajnah, banom. Dan orang yang sudah kita ramut menjadi pengurus NU itu akan meramaikan masjid karena basisnya masjid. Bahkan orang yang tadinya agak abangan, tapi dia tokoh, kita jadikan mustasyar, nantinya kan lihat nga enak kalau nga ke masjid. Ini yang akan menjadi basis inti nu

Mengapa antara NU cultural dan sruktural terjadi kesenjangan sedemikian rupa?

NU sebagai organisasi tidak membina dirinya sebagai organisasi, tetap sebagai kultur. Lama-lama bisa berebut fungsi antara fungsionaris NU struktural dengan tokoh-tokoh NU kultural karena lahannya itu-itu saja. Jadi NU organisasi ini seharusnya melindungi NU kultural dan semua kekayaan yang ada di situ, dia mengambil fungsi pelayanan keumatan, membangun kesehatan masyarakatnya, ekonominya. Jadi konstituennya adalah NU kultural. Jadi Mbah Hasyim mendirikan wadah bahwa NU ini kan butuh anggota, lho iku sak arat-arat, yang memiliki kultur seperti ini, anda rekrut sebagai anggota, mereka secara kultural sebagai anggota, tetapi secara organisasi harus kita sendiri yang mengikhtiarkan. Kalau sekarang NU kulturalnya berkurang, fungsional organisasi juga tidak berjalan rapi. Lha kalau ini bergerak ke sini, saya yakin citra NU ke luar juga akan lebih berwibawa. Sekarang saja, dalam kondisi sekarang ini yang akarnya ke bawah masih bermasalah kita sudah diperhitungkan orang, apalagi kalau akar ke bawah lebih kuat. Dan mereka siap dijadikan basis dan tidak butuh kerja terlalu keras, misalnya menyapa, datang ke bawah, memang kita harus membalik paradigma kalau selama ini pengurus inginnya dilayani harus mulai melayani umat, jangan mau disowani, tapi harus mau datang ketemu dengan umat, mental seperti ini yang harus dirubah dan ini yang menghambat organisasi. Dan kiai-kiai bilang, pimpinan masyarakat itu menjadi khodamnya rakyat, itu harus dibuktikan. Harus pro aktif, komunikasi kan sekarang gampang, bisa telpon, SMS, email dan sebagainya.

Kalau NU berbasis masjid dan mushola saya yakin akan menjamin NU diridhoi Allah. Tidak ada tempat di muka bumi ini yang lebih mulia dari masjid. Dan bisa mendekatkan orang NU yang disinyalir jarang datang ke masjid. Kita harus kembali ke habitat, rumahnya umat adalah masjid, tapi kita ingin memfungsikan lebih dari tempat sholat, lebih dari sekedar tempat untuk ibadah mahdhoh, harus dijadikan pusat pembangunan umat dan peradaban. Masjid berbeda dengan tempat ibadah orang lain yang hanya satu ruang, karena memang tujuannya lebih untuk ibadah mahdhoh. Arsitektur masjid kan dibagi dalam dua ruang, ruang dalam ruang serambi, ini ada manfaatnya. Kenapa pada serambinya, ini untuk komunikasi umat dimana masalah keumatan, pendidikan dan segala macam dibahas disitu. Nah ruang dalam untuk iktikaf sehingga orang lain tak perlu terganggu oleh kegiatan sosial., jangan sampai dijadikan tempat tidur orang yang malas, habis sholat terus tidur, ini bertentangan dengan konsep masjid sebagai pusat peradaban. Nabi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak punya kantor, ya kantornya di serambi itu. Segala masalah kehidupan umat diputuskan di masjid, kita harus kembali ke situ. Saya selalu bilang ke teman-teman PMII misalnya, mari kita harus kembali ke masjid, PMII harus kembali ke masjid, bolehlah demo, tapi basisnya harus spiritualitas, visinya harus kerakyatan, tapi harus diikatkan dengan hablumminallah. Jangan tidak pernah ke masjid, berangkat demo dari jalan, kembali ke jalanan akhirnya menjadi orang jalanan, ini lama-lama bisa kehilangan visi dan ideologinya, lama-lama bisa menjadi pendemo bayaran, kalau berangkatnya dari masjid, diskusi di masjid. Tentang Islam yang paling sosialitik pun, tapi dalam perspektif agama, mendiskusikan Das Kapital, Adam Smith, tak papa asal didialogkan dengan pesan-pesan etika dan keagamaan, ini baru seru, baru ada karakter, Ansor juga harus begitu, jangan hanya nongkrong di pinggir toko, sebagai penjaga toko, ini boleh-boleh saja sebagai pekerjaan, tapi kemudian harus kembali ke masjid pada saat sholat. Kalau semua urusan diselesaikan di situ, insyaallah lebih berkah. Dan kalau kita memutuskan segala sesuatu di masjid, spiritnya kan lain, nga mungkin memutuskan sesuatu di masjid dengan jotos-jotosan, sesuatu yang sekarang lazim.

Ini aset yang luar biasa yang harus kita rawat, kalau tidak dirawat dan ada orang lain yang mengambil, ini bukan salah mereka meskipun ini pelanggaran. Tapi kita juga salah karena mengambaikan nikmat Allah, Ini anugerah yang luar biasa, NU ini mengkufuri kekayaan yang luar biasa kalau tidak bisa merawat masjid, basis keumatan. Karena ini kufur nikmat maka inna adzabi lasyadid, jangan-jangan NU terpuruk karena itu.

Mengapa sekarang ini belum ada institusionalisasi terhadap gerakan NU, karena ini tidak ada visi yang jelas atau gimana?

Ini karena visinya tidak jelas dan lama-lama menjadi jargon, ingin menciptakan negeri yang adil dalam bingkai aswaja ini kayak apa, umat yang maju ini kayak apa, sosoknya kayak apa. Terus terang ini tidak kita bahsa secara rinci. Kegiatan-kegiatan kita di pesantren-pesantren juga tidak dibahas, ya fikih-fikih praktis saja, dari sisi ideologi kita harus dipertajam, yang ada di sini kan persatuan, ini pesan Mbah Hasyim yang luar biasa, tapi untuk apa, kita ini bergerak untuk mencapai apa, dalam konteks yang bagaimana. Indonesia dalam konteks Nahdliyyin ke depan ini kayak apa, masih sangat abstrak, bahkan kita tidak pernah memikirkannya, tahapan-tahapan yang harus kita lalui ini kayak apa, 20 tahun ke depan itu NU harus kayak apa, secara organisatoris maupun menyangkut kualitas umat sendiri, kalau tidak kita ya berjalan secara alami, ya seadanya, sak onone, sak maunya. Ini namanya tidak ada jihad, sesuatu yang kita rancang dan kita usahakan dengan sungguh-sungguh, harus ada extra effort, usaha yang luar biasa, jadi kalau kita langgamnya sak anane, sak karepe, sak kepenake, Ini bertentangan dengan ajaran Islam, orang Islam tidak boleh begitu, harus ada jihad atau extra effort. Ini mentalitas kita, bangsa kita, bukan hanya NU yang kena penyakit ini, serba nga becus, nga punya skill, pemalas luar biasa, apa-apa ogah, jadi pak ogah semuanya. Tdak percaya diri, menjadi diri NU saja fikir-fikir. Ini kayaknya sesuatu yang sangat abstrak, Sesuatu yang sangat tidak lazim. Para pemimpin yang harus memberi contoh, mereka kan para pemimpin umat. Tidak ada etos kerja yang tinggi, tidak ada rasa percaya diri, kita kadang-kadang kalau melangkah yang dibaca constraintnya ya kita mati tidak mana-mana, misalnya kita mau ke Cirebon, belum-belum sudah memikirkan kalau naik kereta nanti nggoling, kalau naik bis tabrakan, dan begitu seterusnya sehingga kita tidak jadi berangkat. Memang semuanya mungkin, tapi mengapa ini yang terus dibahas ketika kita menghadapi tantangan, kalau tidak mau lebih baik mati. Kita sebagai orang Islam saya kira kita selalu diajari, tapi jarang diamalkan, man jadda wajada, (siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan jalannya, dimudahkan jjalannya). Orang kafir saja kalau bersungguh-sungguh man jadda wajada masak orang Islam tidak, tapi kita tidak jadda. Kita ngeblak sebelum apa-apa.

Ini yang kita temukan dikalangan anak muda, kalau ada problem, disajikan constraint-constraintnya wah panjang dan kalau sudah begitu ia merasa puas kalau sudah bisa meyakinkan orang seperti ini. Itu baru prestasi. Memahami masalah ini penting, tetapi lebih penting adalah kemampuan menghadapi masalah.

Berkaitan dengan belum tertatanya organisasi NU ini apakah karena kita berasal dari daerah pedesaan?

Mungkin karena kebiasaan politik, partai politik kan tidak mau bekerja keras, mungkin waktu mau panen saja. Kerja pembinaan lima tahun, kerja panennya setahun, kita baru mau kerja kalau mau panen, nengok sawah kalau sudah mau tua. Nah kerja ormas ini kan ngopeni umat dan panennya dianggap sesuatu yang minallah, sebagai bonus. Kalau anda bekerja kerjas pasti akan panen, kalau parpol yang penting kan panen, syukur kalau tanpa kerja. Mungkin sebagian dari para pengurus kita, anggepannya ini hamparan sawah NU kan luar biasa, hamparan kultural tak terbatas, gitu saja sudah ditawar orang tanpa kita ngopeni, pada saat tertentu saya sebagai pimpinan NU ditingkat apa, diajak pilihan lurah atau bupati, tidak usah kerja dengan memberikan image ini lho hamparan kultural kita, paling-paling ada rapat akbar di alun-alun dan ini kadang sebenarnya show of force. Ini sebenarnya untuk menunjukkan kita punya pengikut, anda beli berapa, ini sebenarnya, tanpa harus bekerja. Jadi kita jualan hamparan kulturalnya. Sekarang kan masyarakat bisa berfikir sendiri, akhirnya kadang-kadang terjebak juga kita. Organisasi lain hampir tidak ada yang suka mengumpulkan ribuan orang di alun-alun, Muhammadiyah atau Katolik, tapi apa mereka lemah, justru kekuatannya dibawah permukaannya. Kalau kita justru rapuh. Ini yang membuat kita kehilangan kultur melayani, ngrawat karena tanpa berbuat apapun kita sudah bisa membuat klain dan sudah ditawar. Ini bukan hanya terjadi 10-12 tahun belakangan, tetapi sejak awal sejak NU kena virus politik praktis.

Jadi di sebagian fikiran pengurus NU ini sebagai karir untuk politik bukan media untuk berdakwah gitu Pak?

Jadi paradigma atau perspektif politiknya masih ada, kalau ini kan yang dilihat hamparam umat, biting, lha kita selalu disebut orang terbesar, ini kultural, belum organisatoris, kita seringkali terjebak, ngak dapat apa-apa, misalnya memperebutkan posisi kepala desa kemarin mengaku terbesar, ternyata tidak dapat apa-apa. Ya karena lemahnya organisasi. Organisasi kan seharusnya mempersatukan. Kita masing-masing kelompok ada tokohnya, lha tokoh itu tidak mau dipersatukan dengan tokoh yang lain. Masing-masing mujtahid yang tidak bisa ditundukkan oleh mujtahid yang lain. Sulit, ini sebenarnya kekuatan kultural tapi kelemahan organisasi, ini justru yang memperlemah organisasi, jadi salah satu fungsi organisasi adalah mempertemukan, menjumlahkan potensi-potensi. Kita mencari tokoh di luar NU yang sekaliber orang NU tidak gampang, misalnya nilai rata-rata 5, tapi di NU yang nilainya diatar 10 banyak, tapi di luar NU yang lima ini dikalikan, kalua dikalikan 100 menjadi 500, kalau di NU skornya 10 atau bahkan 15, tapi mereka tidak mau dikalikan jadi tetap 15. Jamaahnya belum muncul, misalnya kita punya 10 juta orang atau 1 juta, menghadapi tantangan mendorong mobil mogok yang membutuhkan 10 orang dorong bareng-bareng,, orang lain hanya punya 10 orang, pas-pasan tapi bareng-bareng, tapi kita punya 10 juta orang tapi dewe-dewe, dha ada maknanya 10 juta orang dibanding 10 orang, Tantangan organisasi kita disitu, bagaimana menjumlahkan potensi yang terserpih-serpih secara individual, jamaah itu. (mkf)