Wawancara

Maria Ulfa : Kita Ingin Jembatani Antara Teks dan Realitas

Rab, 13 Juli 2005 | 12:54 WIB

Gerakan Maria Ulfa Anshor dalam pemberdayaan perempuan cukup dikenal oleh masyarakat sampai dia memperoleh beberapa penghargaan. Namun demikian, banyak yang menganggap apa yang sudah dilakukan kebablasan dan keluar dari tradisi NU. Berikut ini wawancaranya dengan Mukafi Niam di arena kongres ke XIII Fatayat, tentang pencalonannya kembali, tentang visinya jika memimpin kembali Fatayat ke depan, dan tentu saya tentang pandangannya yang dianggap kontraversial.

Gimana persiapan pencalonan sebagai ketua umum Fatayat periode ke II?

<>

Kemarin saya berfikir lebih baik mengantarkan kader, tapi belakangan berkembang lain. Sampai Senin malam (11/7) saya didaulat sama teman-teman. Susah juga, ya monggo mana yang terbaik, yang masalahah ke depan.

Posisi di PKB gimana Mbak?

Saya kan sudah tak di PKB lagi. Posisi saya sebagai ketua umum Fatayat tak memungkinkan lagi untuk itu. Kan ada deklarasi pengurus PKB, besoknya saya terus ketemu Gus Dur. Dan ia setuju untuk tidak masuk. Saya langsung bikin surat, tembusannya ke PBNU dan semua wilayah Fatayat.

Alasannya apa Mbak?

Karena waktu itu saya masih di Fatayat. Teman-teman sebenarnya menoleransi. Tapi saya bilang tidak bisa kalau menerima. Ini preseden bagi saya, periode Fatayat sekarang. Kalau melihat perjalanan saya, bukan kali ini saja saya menolak. Sebelumnya saya diterima terus saya tolak. Kalau di akhir jabatan saya menerima, ini akan menimbulkan anggapan bahwa yang lalu-lalu seolah-olah terhapus karena rangkap jabatan meskipun hanya beberapa bulan terakhir. Ini yang saya hindari daripada dampak terakhirnya tidak baik, termasuk melanggar PD/PRD, lebih baik saya tolak.

Bagaimana program ke depan jika terpilih lagi?

Tetap sama, masalah isu-isu perempuan. Mungkin fokus ke depan agak berbeda. Kalau yang lalu implementasi pada pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga. Ke depan mungkin kita juga melakukan pendampingan korban trafficking karena kasus itu semakin marak. Daerah-daerah pengiriman mayoritas adalah warga NU. Ini yang menjadi keprihatinan kita.

Ada keluhan bahwa kaderisasi kurang jalan gimana Mbak?

Memang, saya akui bahwa kaderisasi dan konsolidasi kurang jalan. Fatayat kan tidak memiliki dana sendiri. Jadi dalam pelaksanaan program bekerjasama dengan lembaga lain. Misalnya dengan UNICEF, mereka hanya mau di 9 propinsi. Ya itu yang kita ambil untuk kerjasama. Isunya sebenarnya pada penguatan penyadaran kesehatan pada anak balita dan ibu balita.

Dengan program ini kita membangun cabang-cabang yang tidak begitu aktif. Ini yang kita lakukan. Tapi kalau secara nasional memang belum. Dengan UNICEF semuanya di Jawa plus NTT, NTB, dan Bali. Lalu dengan Ford juga, mereka maunya Jawa semuanya. Jadi meskipun jumlahnya 11 propinsi, tapi Jawa selalu kena semuanya.

Dengan The Asia Foundation juga sama. Jawa semuanya, plus 7 propinsi Sumatra dan Kalimantan. Jadi yang terkesan dimonopoli Jawa semuanya. Tapi kita tak bisa nolak, kalau dha ya kita tak ambil. Kan sayang, artinya Fatayat tidak punya peluang untuk pengembangan institusi.

Ini problem kita, kecuali kita punya fund rising sendiri. Kita punya dana abadi yang menggerakkan konsolidasi diseluruh level tanpa tergantung pada dana orang lain. Ini yang paling ideal.

Makanya kalau misalnya PBNU punya perusahaan dan menghasilkan dana, kami menunggu itu untuk bekerja sama. Kalau Fatayat njagakke untuk konsolidasi sendiri, kita tidak punya dana. Selama kita belum memiliki dana. Faktanya kita tak bisa melakukan apa-apa tanpa ada dana.

Ada kritik dari PW Jawa Barat bahwa Fatayat sangat tergantung pada funding?

Memang, jujur saja kita akui bahwa kita tak bisa bekerja tanpa ada funding, kecuali kegiatan rutin seperti pengajian atau konferensi. Kan dha lucu kalau ada kegiatan konferensi tapi dan programnya tak pernah diimplementasikan. Saya fikir ini memang kelemahan dari organisasi non profit.

Seberapa jauh kita bisa mengakomodasi kepentingan funding?

Fatayat punya karakter sebagai organisasi keagamaan. Jadi ketika ada tawaran program dan tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran kita, ya kita tak akan melakukan. Misalnya yang paling sensitif itu HAM. Meskipun HAM kita kan juga punya aturan dan kita tak bisa mengakomodir semua kepentingan mereka.

Dan ini sebenarnya bargaining kita di sini. Dan ketika kita mampu menolak. Kita semakin mem