Wawancara

Krisis Rohingya, Bagaimana Seharusnya Bantu Mereka?

Sel, 12 September 2017 | 01:49 WIB

Krisis Rohingya, Bagaimana Seharusnya Bantu Mereka?

Ketua LPBINU M. Ali Yusuf.

Selama beberapa dekade terakhir, ratusan ribu orang etnis Rohingya mengungsi ke berbagai negara termasuk ke Indonesia. Mereka terpaksa meninggalkan tanah yang didiaminya selama puluhan bahkan ratusan tahun tersebut. 

Masalah mereka begitu pelik. Mereka mukim di wilayah Myanmar, tetapi Pemerintah Myanmar tidak mau mengakui mereka sebagai warga negara. Pun Bangladesh, meski mereka dianggap sebagai warga turunan etnis Bengalis tetapi nyatanya negara yang beribukotakan Dhaka itu juga tidak bersedia memberikan status kewargangeraan bagi etnis Rohingya. Iya, etnis Rohingya yang terusir adalah seorang tanpa status kewarganegaraan. 

Memang, faktor konflik Rohingya begitu kompleks sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli. Mulai dari persoalan etnis, politik, agama, hingga sumber daya alam. Sebetulnya, konflik Rohingya dengan Pemerintah Myanmar –atau dulu Kerajaan Burma- sudah berlangsung ratusan tahun. Mereka selalu dikucilkan karena minoritas dan dianggap bukan pribumi. 

Dalam hal ini, Jurnalis NU Online A. Muchlishon Rochmat mewawancarai Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) M Ali Yusuf agar krisis Rohingya dan ekses efeknya bisa dilihat dan disikapi dengan bijak. Berikut wawancaranya:

Bagaimana sebetulnya krisis Rohingya itu terjadi, Pak Ali?

Konflik Rohingya sudah berlangsung sejak lama bahkan sebelum ada Negara Burma atau sekarang menjadi Myanmar. Awalnya konflik persaingan etnis. Dulu namanya Arakan dan sekarang Rakhine dan di sisi lain Rohingya. Pada masa penjajahan Inggris, etnis-etnis tersebut diadu domba.

Pada awal Myanmar merdeka, ada konsensus. Di Myanmar ada tujuh suku dan daerah diserahkan kepada suku-suku masing-masing. Rakhine State diserahkan kepada suku Rakhine karena pada waktu itu suku Rohingya minoritas. Awalnya mereka hidup rukun sampai junta militer berkuasa. Lalu, ada isu tentang kewarganegaraan tahun 1970-an. Sejak saat itu, suku Rohingnya dipertanyakan asal usulnya. Padahal hampir semua adalah suku pendatang, termasuk suku Burmis.

Saat junta militer Myanmar berkuasa hingga saat ini, konflik Rohingya semakin menjadi-jadi. Pemerintah Myanmar juga gagal model toleransi atau tidak melakukan upaya untuk menyatukan dan merekatkan antar warga di Rakhine. 

Apakah ada faktor lain selain pertarungan etnis? 

Ada juga faktor politiknya. Suku Rakhine adalah suku yang terpinggirkan di Myanmar. Selain terpinggirkan, mereka juga miskin dan mendapatkan tantangan dari suku Rohingya. Jadi konfliknya disebabkan banyak faktor. Dimulai dari kemiskinan, politik, sosial.

Apa yang harus dilakukan agar konflik Rohingya bisa terselesaikan?

Yang paling penting adalah memberikan Myanmar kebebasan untuk menyelesaikan persoalannya. Myanmar juga seharusnya diberikan masukan yang produktif dan jangka panjang. Terutama memberikan pemahaman kepada militer bahwa penggunaan kekerasan itu tidak bisa dibenarkan, menghormati hak asasi manusia, mengedepankan persatuan, dan saling memahami.

Pemerintah Myanmar juga seharusnya merekatkan militer dan suku-suku yang bertikai itu. Termasuk mengakui suku Rohingya sebagai warga resmi Myanmar.

Sampai saat ini suku Rohingya tidak ada yang diakui sebagai warga negara Myanmar?

Ada puluhan ribu bahkan ratusan suku Rohingya yang sudah diakui sebagai warga Myanmar. Mereka mungkin saja tersebar di kota-kota besar di Myanmar. Kalau Rakhine itu kan di pinggiran. Artinya, pengakuan terhadap suku Rohingya sebagai warga negara Myanmar sudah pernah dilakukan. Seharusnya ini harus dilanjutkan. Namun sayangnya, Konstitusi tahun 1982 itu yang membuat junta militer dan itu masih digunakan hingga hari ini.

Lalu, bagaimana seharusnya kita sebaiknya menyikapi isu Rohingya ini, pak? Mengingat juga ada yang menggunakan isu Rohingya untuk alat politisasi?

Kalau kita cinta Rohingya, maka kita harus membantu mereka. Pertama, dengan berdonasi untuk mereka karena itu yang paling dibutuhkan mereka. Kedua, mendorong pemerintah agar lebih pro-aktif mengadvokasi dan mendorong Pemerintah Myanmar untuk memberikan solusi jangka panjang seperti pemberian status kewaraganegaraan bagi suku Rohingya. 

Kita tidak bisa hanya menyalahkan Aung San Suu Kyi, negara ini, atau negara itu. Indonesia kurang begini, negara-negara Islam kurang begitu. Mereka adalah negara yang berdaulat maka negara lain juga harus melakukan hal-hal yang menurut mereka bisa diterima. 

Sejauh ini, apakah yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sudah tepat?

Saya kira Pemerintah Indonesia cukup pro-aktif dan positif. Hasilnya sudah bisa dirasakan. Hubungan baik antara Indonesia dan Myanmar menghasilkan kontribusi yang baik. Termasuk saat terjadi konflik di Myanmar, mereka masih mau mendengar saran dan kritik dari Pemerintah Indonesia. 

Menurut Pak Ali, ke depan apakah mungkin Pemerintah Myanmar mengakui suku Rohingya sebagai warga negaranya?

Tujuan akhir atau target dari penyelesaian kasus Rohingya adalah diakuinya mereka sebagai warga negara Myanmar. Namun itu membutuhkan waktu yang panjang dan Pemerintah Myanmar tidak bisa serta merta langsung menerimanya. Karena orang Myanmar secara umum sudah tidak suka dengan Rohingya. Begitupun dengan Rohingya, selama ini mereka merasa sangat diintimidasi dan didiskriminasi oleh Pemerintah Myanmar. 

Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia dan Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) mendorong Pemerintah Myanmar dan merencanakan program antar masyarakat yang berkonflik bisa berinteraksi dan memulihkan kembali semangat persaudaraan antar mereka. 

Untuk mengakui suku Rohingya sebagai warga negara Myanmar yang sah masih jauh?

Kalau masalah kewarganegaraan itu membutuhkan proses karena untuk melakukan itu maka Konstitusi Myanmar harus dirubah. Sedangkan untuk merubah suatu konstitusi maka membutuhkan waktu yang panjang. Apalagi belum ada political will dari tokoh-tokoh Myanmar untuk melakukan itu. 

Bagaimana anda melihat reaksi dunia terhadap kasus Rohingya, terutama masalah kewarganegaraan?

Selama ini, saya melihat hanya Pemerintah Indonesia yang memberikan solusi jangka panjang. Rata-rata mereka hanya mengecam dan bahkan tidak memberikan bantuan. Seharusnya kita mencari cara yang halus dan bisa diterima Pemerintah Myanmar sehingga mereka bersedia mendengarkan masukan-masukan. 

Pemerintah di luar Myanmar mendorong Pemerintah Myanmar untuk berubah. Kita dorong untuk lebih demokratis, maju, terbuka, dan memahami suku Rohingya.

Saat ini, konflik Rohingnya sudah parah karena sudah dikait-kaitkan dengan sensitivitas agama. Kalau dulu hanya menggunakan sensitivitas etnik dan ekonomi.   

Efek dari konflik Rohingya adalah semakin maraknya pengungsi. Mereka mengungsi ke berbagai negara, terutama ke Bangladesh dan bahkan sampai ke Indonesia. Bagaimana persoalan pengungsi ini diselesaikan?

Indonesia sangat men-support para pengungsi Rohingya. Meskipun Indonesia belum meratifikasi terkait dengan pengungsi luar negeri tetapi pemerintah daerah sangat mendukung. 

Yang perlu dipikirkan bersama adalah efek dari kejadian terakhir tanggal 25 Agustus. Yaitu hampir 300 ribu suku Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Sebelumnya sudah ada 400 ribu. Sehingga totalnya adala 700 ribu. Bangladesh sendiri sangat tidak siap karena ia negara miskin, memiliki problem sosial ekonomi yang banyak. 

Oleh karena itu, harus dicari solusi bersama karena kalau mereka dipaksakan menetap di Bangladesh maka ia tidak akan mampu. Bangladesh itu kan termasuk salah satu negara termiskin juga.

Ada usulan untuk menaturalisasi pengungsi Rohingya yang ada di Indonesia, bagaimana anda melihat itu?

Menurut saya itu harus diteliti dan dicek lagi terkait dengan konstitusi atau regulasi yang ada di Indonesia. Sejauh memungkinkan saya rasa tidak masalah tetapi Indonesia juga memiliki problem yang banyak soal kesejahteraan penduduk. Itu juga harus dipikirkan. Jangan sampai hanya berniat baik untuk membantu Rohingya tetapi lupa memikirkan permasalah kesejahteraan masyarakat Indonesia. Meski tidak resmi menerima pengungsi Rohingya, beban anggaran negara luar biasa.    

Terkait dengan aksi-aksi solidaritas untuk Rohingya yang digelar di Indonesia seperti demo, membakar bendera Myanmar, bahkan mengepung Borobudur. Apakah itu sudah tepat? 

Pertama, kita harus melakukan pendekatan yang bisa diterima oleh Myanmar sehingga mereka bersedia mendengar saran dan kritik kita. Kedua, memberikan bantuan kemanusiaan bagi mereka yang kena dampaknya karena saran dan kritik saja tidak cukup. Kalau kita hanya demo dan tidak memiliki langkah dan solusi yang konkrit sama saja itu tidak membantu mereka. Karena tidak ada gunanya kita demo di depan Dubes Myanmar.

Faktanya, warga Rohingya di Myanmar semakin berkurang. Oleh sebab itu, kalau mau demo Pemerintah Myanmar, mereka juga tidak ada persoalan karena memang warga Rohingya di sana tinggal sedikit. Maka dari itu, perlu langkah-langkah konkrit sehingga mereka bisa hidup layak dan diakui. Itu harus melibatkan dua negara: Bangladesh dan Myanmar. Apakah Myanmar bisa menerima balik kembali atau tetap di Bangladesh. 

Ada yang mengaitkan konflik Rohingya dengan isu agama sehingga ada ormas yang menggalang orang untuk jihad ke sana. Bagaimana anda menanggapai hal itu?

Saya kira jihadnya bukan untuk perang tetapi jihad bagaimana membantu mereka untuk merubah nasib mereka agar menjadi lebih baik lagi. Ada banyak cara seperti mengadvokasi negara-negara Islam untuk mempengaruhi Myanmar agar merubah kebijakannya atau mendukung Bangladesh agar bisa menerima mereka.

Kalau mereka dipaksakan untuk tinggal di Myanmar, tetapi kalau Myanmar tidak juga menerima mereka terus mau apa. Jadi yang dilakukan seharusnya solutif. Saat ini, Myanmar cukup diuntungkan karena warga Rohingya sudah keluar.

Yang juga perlu dilakukan adalah bagaimana menjaga koehesifitas sosial hubungan antara pengungsi dan warga asli Bangladesh. Jangan sampai ada konflik baru karena ada perasaan yang pengungsi mendapatkan bantuan sementara yang warga asli tidak meski mereka juga miskin.