Wawancara

Ayo Gembirakan Anak-anak Indonesia

Rab, 24 Juli 2019 | 11:00 WIB

Ayo Gembirakan Anak-anak Indonesia

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihah

Jumlah anak Indonesia berdasarkan data tahun 2018, sekitar 83, 9 juta jiwa atau sepertiga dari keseluruhan populasi penduduk Indonesia. Jumlah yang demikian besar tersebut memiliki potensi besar juga karena diproyeksikan Indonesia akan mengalami bonus demografi atau usia produktif lebih banyak dibanding yang tidak produktif. 
 
Namun, bonus demografi juga bisa menjadi bumerang bagi bangsa Indonesia. Banyaknya penduduk usia kerja tidak selalu mendatangkan keuntungan tapi juga bisa mendatangkan masalah. Pengangguran merupakan masalah awal yang ditimbulkan dari bonus demografi tersebut. Ketika jumlah pencari kerja yang banyak tidak diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja yang bisa menampung seluruh tenaga kerja, yang terjadi selanjutnya adalah tidak terserapnya tenaga kerja tersebut yang mengakibatkan terjadinya pengangguran. 
 
Banyak faktor yang menyebabkan tenaga kerja tersebut tidak terserap dengan baik, diantaranya disebabkan karena terbatasnya lapangan kerja dan tingkat keterampilan atau kemampuan pekerja yang kurang. Keterampilan dan kemampuan pekerja yang kurang cukup membuat mereka kalah bersaing di pasar dan tidak memiliki daya saing sehingga menjadi pengangguran.
 
Memperoleh kemampuan keterampilan kerja terkait dengan hal lain, misalnya pendidikan dan kesehatan pada masa kanak-kanak. Anak yang masa kecilnya tidak mendapatkan pendidikan dan kesehatan layak, akan berbeda dengan anak yang mendapatkannya. Sehingga masa tersebut perlu mendapat perhatian yang khusus dari semua pihak, yaitu orang tua, lingkungan dan negara. 
 
Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihah, dalam rangka memperingati hari anak nasional tahun ini KPAI mempunyai tagline menggemberikan anak. Orang yang bergembira pada masa kanak-kanaknya akan berbeda dengan anak yang tidak. 

Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana persoalan-persoalan yang dihadapi anak Indonesia saat ini, Abdullah Alawi mewawancarai Ai di Jakarta, Senin (22/7). Berikut petikannya: 

Dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional 2019, apa Anda bisa jelaskan bagaimana kondisi anak Indonesia hari ini? Dan apakah perlindungan dan hak-hak yang harus didapat anak sudah terpenuhi?  

Untuk hari anak nasional 2019, KPAI mempunyai tagline menggembirakan anak. Sebetulnya kegembiraan itu pancaran terpenuhinya hak-hak anak dan optimalnya perlindungan kepada mereka. Tentu KPAI mendorong supaya apa yang menjadi prinsip dalam konvensi hak anak itu terwujud. Pertama hak kehidupan anak. Ini tercermin dalam pemenuhan semua hak dia mulai dari hak hidupnya, tumbu kembangnya, kemudian hak pendidikan, kemudian pemenuhan hak gizi, terutama akte lahir sebagai hak pertama sebagai status warga negara. Nah, ini harus dilindungi haknya, harus dipenuhi dan dimajukan. 

Yang kedua, tentu anak tidak boleh terdiskriminasi, rentan terhadap kekerasan, menjadi kelompok yang mudah diekslpoitasi. Nah, ini harus kita lihat dalam 15 bentuk perlindungan khusus yang negara berikan untuk anak-anak ini karena mereka tidak bisa lepas dari persoalan-persoalan sosial, ekonomi di masyarakat. Nah, saya kira, sudah saatnya, Indonesia hari ini berbenah untuk meningkatkan semua hal masuk dalam atau melingkari anak-anak ini, termasuk anak yang sudah masuk di dalam kategori penanganan khusus, contoh mereka yang terlibat di dalam hukum. Sudah saatnya pemerintah jangan diskriminasi. Mereka mungkin kejahatan iya. Tapi haknya sudah terpenuhi. Bagaimana LPKA, lembaga khusus anak ini mereka di penjara-penjara anak, ini harus segera dikoreksi karena mereka tentu bukan untuk dipenjara, dilakukan kekerasan di dalam perampasan, bahkan mereka tidak merdeka, tetapi pemasyarakatan khusus anak diorientasikan untuk mengembalikan kehidupan mereka menjadi manusiawi, menjadi lebih berorientasi pengembangan pada dirinya, pada pengembangan anak sehingga tidak terlepas dari kontrol orang dewasa, bahkan komitmen negara dalam memberikan layanan terhadap pemulihan anak-anak ini. 

Nah, berikutnya anak-anak yang juga di dalam berpendapat mereka harus didenagar, harus dibentuk pandangannya dengan positif, dengan optimal sehingga KPAI memandang bahwa persoalan di depan, persoalan hak hidup, bahkan persoalan kekerasan dan marginalisasi dan diskriminasi anak itu tentu bisa dikikis oleh anak-anak Indonesia sebagai pionir bangsa ini. pertama mereka harus didengar apa sih keinginan mereka, pandangan mereka. Kalau mereka masih belum punya pandangan, tentu ini sangat jauh dari partisipasi yang diharapkan. Bahwa mereka harus punya pandangan yang bai, yang benar, ini yang dibutuhkan anak-anak Indonesia sehingga apa yang menjadi keinginan kita bangsa ini supaya tidak ada seorang pun yang dirampas pendapatnya, ekspresinya, terbangun dari anak-anak, mereka punya pandangan, mereka punya partisipasi, keinginan, cita-cita dan lain sebagainya. Tentu di dalamnya ada inovasi-inovasi. 

Nah, saya kira, prinsip dasar hak perlindungan anak ini yang perlu diperkuat, dioptimalkan. Nah, terakhir kalau bisa KPAI sendiri, karena ini sudah jadi persoalan nasional ya, bagaimana anak-anak hari ini mengalami perkawinan usia anak, dan kasusnya lagi-lagi banyak walaupun tidak terlaporkan ke KPAI, mari kita cek di pengadilan agama di bawah 16 tahun, ini tentu sangat memprihatinkan bagi kita dan semua sehingga menurut kami di KPAI bahwa angka perkawinan anak harus ditekan sedemikian rupa untuk menutup celah-celah tadi, terjadinya kekerasan, trafficking, anak berkonflik dengan hukum, sehingga mereka optimal di ruang pendidikan. Jadi, kita mendorong KPAI agenda nasional untuk menemukan angka yang optimal dari angka yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tentang perubahan atau peningkatan usia minimum perkawinan perempuan dalam tiga tahun ini dijadikan salah satu revisi terhadap Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan anak. Saya kira itu.

Bisa dipetakan lebih detail anak-anak yang berhadapan dengan kasus-kasus itu? 

Setiap tahun KPAI merilis data terkait itu. Untuk rilis 2018, infografik kita, anak-anak lebih banyak anak-anak yang terlaporkan anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Ini tentu masalah yang sangat serius dihadapi bangsa ini. Mereka sebagai pelaku, mereka sebagai korban, ddan mereka sebagai saksi anak-anak itu karena terlibat di dalam persoalan itu. Yang kedua, adalah anak dalam keluarga dan pegasuhan alternatif. Nah, anak-anak ini mereka merupakan korban dari sebuah keluarga yang tidak harmonis, perceraian misalnya, kemudian konflik rumah tangga yang berlarut-larut, itu berdampak pada anak, kemudian banyak juga yang kaitannya orang tua berpisah kemudian anak diculik dan tidak ada dialog antardua orang tua. 

Nah, ini luar biasa. Kemudian anak-anak di panti sosial di LPKA di RPSA, di rumah singgah. Mereka juga belum punya penyetaraan bagaimana pengasuhan mereka berpuluh tahun mereka ada di sana, tanpa ada penyetaraan dengan keluaraga Indonesia pada umumnya. Ini tentunya persoalan. Padahal mungkin ada ratusan, bahkan ribuan panti-panti sosial yang membutuhkan reorientasi, kemudian peningkatan fasilitas, serta kembali menjadi keluarga walaupun mereka tidak punya orang tua. Yang ketiga kasus tentang anak dalam siber, pornogafi. Ini persoalan milenial hal yang baru, bukan hanya masalah-masalah pornogarif tapi dengan siber, misalnya saat ini tarficking saat ini sudah merangsek pada persoalan penyalahgunaan tekonologi apalagi ponografi kemudian jual beli tayangan porno, kemudian sindikat pengucapan istilah, reaksi, dan itu direkam sedemikian rupa untuk memenuhi hasrat seksual kelompok tertentu, tentu saja dalam hal ini orang dewasa. 

Ini tiga persoalan anak Indonesia saat ini menurut KPI yang tertinggi. Kemudian yang keempat adalah masalah pendidikan, kelima kesehatan, dan yang keenam, traficking dan eksploitasi anak. Saya kita enam besar ini masih bertengger di dalam potret pengawasan KPAI bagaimana apakah pemerintah menerima atau merasa ini menjadi bagian dari persoalan pembangunan nasional, silakan konfirmasi kepada penyelenggara baik itu di tingkat kepolisian yang menangani semua persoalan pidana, kemudian KPPA kementerian yang menaungi kementerian perempuan dan perlindungan anak. Saya kira bagus berkonfirmasi dengan kementerian PMK, Menko PMK karena menaganani sumber daya manusia, budaya, agama, dan lain-lain. Ini menjadi potret suram bangsa kita untuk anak-anak bangsa Indonesia. 

Walau demikian, saya kira, untuk hari anak nasional ini, kita harus sudah biasa melakukan hal yang sepsifik namun berdampak luas yaitu sekali lagi kenapa KPAI memberikan penghargaan kepada MK atas terobosan yang dilakukan memberikan kesempatan untuk merevisi UU 1974 yang sulit sekali disentuh karena ini terkait dengan berbagai macam pemikiran, keyakinan, keluarga, masyarakat di Indonesia, bagaimana cara kita mendorong itu, tentu KPAI mengimbau mengharapkan, bahwa potret persoalan anak ini harus menjadi landasan reorientasi terhadap rancangan pembangunan ini. Nah, bagaimana mungkin pendidikan kita masih 9 tahun, padahal tuntutan sudah 12 tahun, bahkan kuliah. Tentu di dalam pendidikan ini kita berharap tidak terganggu oleh persoalan-persoalan kekerasan seksual, perkawinan anak-anak di usia itu melakukan freesex dan sebagainya. Nah, ini tentu menjadi agenda dengan Kemendikbud, Kemenag, disdukcapil, dan lain sebagainya. Ini harus menjadi perhatian besar untuk anak Indonesia. 

Yang mengahadapi enam masalah tertinggi itu sebetulnya berapa persen dari seluruh anak Indonesia?
 
Populasi anak Indonesia sampai 2017 data mencapai 83,9 juta anak Indonesia dari seluru populasi masyarakat Indonesia. Itu artinya, sepertiga populasi masyarakat Indonesia itu anak, di bawah 18 tahun. Nah, oleh sebab itu, bagaimana mampu menjadikan kelompok ini the big of popuation ini menjadi mainstream dalam pembangunan, itu harus didesakkan kepentingannya. Dari mana kita melihat persoalan itu? ya, tentu dari masalah-masalah yang muncul di masyarakat karena ini menjadi satu pertimbangan utama ketika pembangunan akan berorientasi kepada kepentingan terbaik anak. Kalau kita masih mau jalan sendiri-sendiri misalnya, berbagai kementerian, berbagai badan dan lain sebagainya, ya ini kan, kalau tanpa koordinasi, sinergi, lagi-lagi kita akan sangat kerepotan untuk melangsungkan agenda besar untuk mengangkat martabat, kegembiraan anak-anak. 

Dari jumlah yang sedemikan besar itu, dan melihat situasi, bagaimana Indonesia ke depan?

Kalau melihat prestasi anak Indonesia, ini juga mengembirakan. Kita bisa tahu anak-anak sekarang, misalnya ekonomi kreatif yang terbangun dari vlog misalnya dari pemanfaatan media, itu jauh lebih meningkat daripada masa lalu. Tapi lagi-lagi ini bersanding dengan bahaya dan persoalan baru. Akan tetapi apakah kita akan menutup akses yang lompat tadi, anak-anak bangsa kita, milenial ini, jauh lebih berpikir progresif ke depan ketimbang dengan anak-anak yang menuai prahara dan persoalan orang tuanya. Nah, ini fungsi pemerintah untuk memastikan negara hadir di dalam bahwa ketika anak melakukan trial and error karena dia bersinggungan dengan suasana baru, dengan fasilitas Indonesia ini yang serba baru ini, ini tentu harus diimbangi bagaimana kondisi sarana dan prasarana mendukung pada seluruh kemampuan atau potensi baru anak-anak ini. Itu yang pertama. Kita tidak pesimis ya. Kita optimis. 

Dan yang kedua, apakah orientasi pemerintahan kita juga sudah mengarah ke sana. Itu yang tadi saya sampaikan selama negara menyiapkan sarana dan prasarana untuk menuju memajukan anak-anak ini, berarti kita sedang berupaya, negara sedang hadir. Contoh, hari ini, KPAI tidak segan-segan, setiap kali ada persoalan misalnya apakah ada tayangan iklan yang selalu menyajikan rokok sebelum jam malam, kita lakukan pendekatan, dan kita lakukan sebuah tindakan yang memang harus ditegakkan. Yang kedua, misalnya dalam konteks media, itu kan memberik income kepada pemerintah misalnya Tiktok, Facebook, tetapi ketika mereka melakukan pelanggaran terkait anak-anak, kita juga tidak segan-segan melaporkan, menuntut, bahkan meminta supaya mereka dievaluasi dan diberrikan sanksi. 

Nah, langkah-langkah ini yang sebetulnya harus didorong dan ditopang oleh kebijakan. Contoh misalnya kebijakan game online, benarkah dia juga diimbangi dengan penegakkan hukum sementara game online ini seolah-olah hanya dinikmati, tapi mana potensi negara untuk mengimbangi problematikanya. Ini juga kita revisi, misalnya tentang game online itu seperti apa di Indonesia. Kebijakan yang ditelorkan dari berbagai kementerian dari pemerintah ini memang bersandar pada dua hal, yaitu kemajuan, pada fasilitas, pada sarana yang mendukung anak. Dan yang kedua adalah menutup, menekan persoalan-persoalan baru yang muncul ketika anak-anak sudah masuk ke dalam sebuah situasi yang berbeda dengan masa lampau. Saya kira dua hal ini. Apa yang menjadi terobosan kebijakan public policy, kemudian sinergi program-program pemerintah serta komitmen anggaran. Ini harus jelas pada anak. 

Saya kira hari anak ini momentumnya, saya sering diundang ke pelosok, tahun lalu ke Pringsewu, Lampung, itu saya bererita bagaimana anak-anak ini sebetuulnya bukan anak-anak kampung yang tidak melek inovasi pada internet. Mereka melek, tapi kemudian apa yang dilakukan pemerintah, memberi tidak fasilitasnya. Mereka ingin ngevlog, jangan-jangan kita juga tidak mengerti apa vlog menurut anak Lampung sana misalnya dengan anak yang di Jakarta. Berbeda. Mereka jadi kreatif. Kalau yang di sini ada tuntunan pengetahun siber, tapi yang di kampung sana bagaimana? Kemudian bagaimana saran dan fasilatas dari negara itu harus merata. 

Menurut KPAI udah terpenuhi belum hak-hak untuk anak itu? 

Ya, ukurannya kita, harus punya standarisasi yang jelas, misalnya apakah keterpenuhan gizi di berbagai daerah ini sudah terpenuhi atau tidak. Kita mengapresiasi adanya upaya dalam mengukur komitmen berbagai pihak dalam kota kabupaten layak anak. Apa yang disebut dengan kota kabupaten layak anak ini? Seluruh komitmen, seluruh program, anggaran, dan keberpihakan pembangunan itu berorientasi kepada kebutuhan hak anak. Tidak hanya kementerian terkait seperti KPPA misalnya, melainkan seluruh kementerin. Maka ukuran-ukuran inilah yang harus dijawab. Dari 560 sekian kota kabupaten dan 36 provinsi hari ini yang mengajukan penilaian mungkin baru 70 persennya ke KPPA apakah dia layak anak atau tidak. Nah, ini variannya juga tentu ada yang sudah utama, ada sudah madya, ada yang baru pratama, nah, ini yang belum sama sekali mengajukan, karena tepo saliro, dia juga negerti, oh kami ini belum memberikan perlindungan anak dengan program pemerintah. Tetapi kan sebetulnya bukan penilaian meraih atau tidak dapat kategori, melainkan komtmen Anda di pemerintahan sejauh mana. Sesungguhnya itu didongkrak melalui KPPA. 

Itu dijadikan salah satu acuan, bukan satu-satunya acuan untuk membangun hal yang menyeluruh terhadap sebuah pemerintahan, baik pemerintahan daerah, provinsi, dan kementerian-kementerian juga harus punya standar operasional yang jelas bahwa mereka harus memiliki agenda yang inheren dengan tujuan-tujuan perlindungan anak. 

Kembali ke tagline tadi anak 20019 bergembira. Kira-kira anak bergembira itu bagaimana?

Kita tidak punya spesifikasi khusus. Justru kita otokritik terhadap persoalan tadi, pemenuhan haknya bagaimana, perlindungan haknya perlindungan khusus mereka bagaimana. Kita sebetulnya berada di zona itu. Tetapi kalau bergembira itu ya mulailah dari diri sendiri untuk membahagiakan anak. Salah satunya mendengar pendapat anak. Kemudian contoh, di zaman sekolah, baru-baru ini anak-anak jurusan apa, kuliah apa, ini kan harus digali betul potensinya, bukan menggembirakan anak itu, mentang-mentang orang tuanya dokter anaknya jadi dokter. Orang tuanya ustadz anaknya ustadz, saya kira tidak. Tapi bagaimana anak membangun pandangan sendiri untuk meraih cita-cita dan keinginannya sendiri. Jangan-jangan anak ini berpikir tidak punya cita-cita, tapi hanya ingin menyenangkan orang tua, berarti kan gagal. Nah, kegembiraan mereka juga bisa kita lihat mereka itu anak-anak yang harus berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Apakah benar kegembiraan mereka bisa diukur dengan diberi gajet, besarnya kuota, dan berdiam diri di kamar? Ini juga persoalan. Kebahhagiaan kita zaman dulu itu kan berinteraksi dengan teman, janjian mandi di kali, janjian petak umpet, dan sebagainya, dan itulah tipologi anak, bermain bersama dengan sesama, bertengkar, dan ribut dengan sesama, tapi mereka punya antibodi sendiri, mereka punya kelekatan emosi sendiri yang mudah memaafkan, mudah lupa, mudah kembali ke dunianya, saya kira kebahagian anak itu merupakan anak menjadi pusat atau subjek atas haknya, bukan milik orang lain, bukan milik seseorang, bukan milik negara, tetapi milik anak itu sendiri. 

Jadi, saya kira, kita melihat dari diri kita, dari keluarga, dari perilaku masyarakat, dari perilaku negara, untuk membahagiakan dia. Kita harus otokritik, jangan-jangan kita berupaya membahagiakan anak itu sesungguhnya membahagiakan diri sendiri. tapi anak jugan jangan dibiarkan seliar keinginannya lalu dituruti semaunya, melainkan dia pun harus mengikuti bagaimana corak, ragam, keindonesian, norma, etika, yang berlaku di masyarakat, nah, pandangan anak itu waras apa tidak, maka akan tetapi kalau pendapatnya ngaco-ngaco, tidak sampai pesan kita, anak SMA tidak mau melanjutkan karena dia suka dengan seseorang, daripada zina mending aku kawin, itu bukan kebebsan yang dimaksud, tapi orang tua gagal membangun yang visioner yang tentunya untuk kemanfaatan si anak itu sendiri. 

Nah, menurut saya, hari ini adalah membangun otokritik bersama, termasuk kita yang mempersiapkan punya anak, kita yang sudah punya anak, apalagi masyarakat, negara, seluruh elemen harus mendukung penuh optimalisasi pemenuhan hak-hak anak.