Warta PIDATO KEBUDAYAAN

Zawawi Imran Bawa Obor Siang Hari, Mencari Manusia

Kam, 29 November 2007 | 01:32 WIB

Jakarta, NU Online
Panggung Pidato Kebudayaan Taman Ismalil Marzuki (TIM) tahun ini diberikan kepada D Zawawi Imran, penyair sekaligus muballigh asal Madura. Tema yang dibawakannya adalah soal "Spiritualitas dan Kebebasan Berkesenian".

Namun dalam pidatonya di Gedung Teater Kecil TIM, Rabu (28/11) tadi malam Zawawi malah berbicara soal kemiskinan di desa yang ditonton dengan riuh gembira, soal pendidikan warisan kolonial, soal dongeng si kancil yang sudah sarjana dan suka menipu, bahkan soal hutang yang menjadi darah dan nanah tempat berenang anak cucu. Mungkin saja, bagi dia, itu adalah persoalan spiritual.

<>

Zawawi mengawali pidatonya dengan menceritakan siapa dirinya, seorang rakyat dari Batang-batang, sebuah tempat bermukim para petani dan nelayan di Madura, yang memerlukan biaya hidup Rp 3000 perhari. Desa itu, dan desa-desa yang lainnya, kini sudah semakin sepi.

"Sebagian dari mereka merentau ke kota-kota besar seperti Jakarta, atau jadi TKI-TKW ke luar negeri yang siap dianiyaya atau dihina majikan," katanya.

Ada satu sebab, bahwa pendidikan dianut persis seperti zaman kolonial Belanda. "Anak didik pedesaan diajar seperti anak Jakarta. Jarang ada keterampilan yang sesuai dengan alam desa dan alam pesisir. Anak petani tidak ditanami penghayatan yang mendalam terhadap aroma lumpur sawah. Anak nelayan tidak diajar menebar jala, menantang gelombang," katanya.

Para sarjana zaman dulu jumlahnya puluhan orang, namun sudah cukup untuk membikin Indonesia merdeka, menghadapi pemberontakan, dan menang berdiplomasi dengan negara adikuasa. Kini jumlah sarjana itu bertambah menjadi jutaan orang, namun Indonesia selalu kalah. Bahkan diantara sarjana itu ada yang berperangai seperti si kancil dalam dongeng anak-anak, menipu kawan sepermainannya.

Para penonton semakin berdebar ketika Zawawi membacakan puisi lamanya yang katanya belum pernah dibacakan, yakni soal hutang yang tidak pernah terbayar oleh para sarjana itu.

Sementara itu Zawawi juga melihat-lihat suasana keagamaan bangsa Indonesia. Semakin banyak musholla didirikan di tempat-tempat pertemuan, semakin orang tampak berbusana Islami, semakin banyak yang berhaji, namun di lain pihak semakin dangkal penghayatan spiritualnya dan semakin mundur moralitasnya. "Agama dan Tuhan hanya menjadi bendera kebanggaan," katanya.

Zawawi seperti sosok dalam ceritanya sendiri mengenai seorang filosof yang sedang membawa obor di siang hari, berkeliling pasar dan mencari manusia. Zawawi mencari manusia yang patut disebut sebagai khalifah di muka bumi.

Pidato kebudayaan itu diawali dengan penempilan kesenian tradisional Minangkabau, Grup Talago Buni. Salah satu kisahnya menggambarkan tuntunan agama Islam dalam bahasa hidup Minangkabau.

Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Marco Kusumawijaya dalam sambutan pengantarnya sebelum pidato sedianya mengarahkan Zawawi, dengan tema spiritualitas dan kebebasan berkesenian itu, untuk menggugat RUU Pornografi. Namun di akhir sambutannya dia justru menaruh kembali keinganannya.

"Kita undang dia bukan dalam rangka RUU pornografi itu. Zawawi juga punya kebebasannya," katanya. Dan memang benar, Zawawi punya kebebasannya sendiri mengarahkan obornya, mencari manusia. (nam)