Jakarta, NU Online
Pakar politik Bachtiar Effendy menyatakan ketidaksetujuannya terhadap usulan amandemen ke-5 UUD 1945 untuk menutupi kekurangan yang ada. Langkah terbaik menurutnya adalah menulis ulang UUD.
“Kalau kita berbicara dalam konsep politik, amandemen ke-5, tak akan maksimal. Kalau kita sungguh-sungguh, harus menulis ulang UUD, dengan diinspirasi semangat preambule. Ini yang tidak kelihatan dan tidak dilakukan pada amandemen ini,” katanya dalam workshop civic eduation yang diselenggarakan PBNU baru-baru ini.
<>Meskipun sudah dilakukan amandemen selama empat kali, terdapat ketidakkonsistenan dalam UUD yang ada saat ini. Antara satu pasal dengan pasal lainnya seringkali tidak koheren karena dalam proses penyusunannya, para anggota MPR yang menjabat pada tahun 2000-an hanya berfikir partisan atas dasar kepentingan politik dan ekonomi semata. Pasal-pasal lama dari UUD 1945 yang tidak diamandemen masih lebih konsisten daripada pasal yang baru.
Menurutnya, rumusan UUD yang dibuat pada tahun 1956-1957 oleh sidang konstituante jauh lebih koheren karena diinspirasi oleh preambule dengan semangat demokrasi, penghargaan terhadap HAM dan kebebasan.
Salah satu petunjuk ketidakkonsistenan ini adalah penggunaan model pemerintahan parlementer, padahal Indonesia menganut sistem presidensial seperti adanya koalisi antar partai, ketidakkompakan antara presiden, wapres dan para menteri dan lainnya. Namun, untuk Indonesia, ia berpendapat sistem presidensial jauh lebih baik daripada parlementer.
“Ini semua menandakan sepuluh tahun terakhir ini, bukan ideologi kenegaraan yang mewarnai kehidupan politik kita. Jadi semata-mata politik partisan,” terangnya.
Sebenarnya secara prosedural, praktek demokrasi yang dijalankan di Indonesia sudah berjalan bagus. Jabatan presiden, gubernur dan walikota sudah dipilih secara langsung. Beberapa jabatan publik juga harus melewati proses seperti pemilu.
“Saat ini, demokrasi prosedural sudah tak perlu diungkit-ungkit lagi, dana, energi, dan waktu harus kita fokuskan untuk membangun demokrasi yang substansial, bahwa demokrasi itu menjanjikan dua hal, pertama stabilitas politik, keamanan, ketertiban. Kedua, kemakmuran, kesejahteraan social,” terangnya.
Inilah menurutnya yang merupakan terjemahan dari baldatun toyyibatun warabbun ghofuur yang muaranya adalah ketertiban, keteraturan politik dan kesejahteraan.
Kasus pemilihan gubernur yang terjadi di Jawa Timur sampai tiga putaran dan menghabiskan dana sampai 800 Milyar menurutnya tidak sesuai dengan substansi demokrasi untuk menciptakan stabilitas politik dan kesejahteraan sehingga harus dicarikan sebuah mekanisme lain yang koheren dan sesuai dengan semangat UUD.
“Kita ini korban dari amandemen UUD sehingga praktek demokrasi kita seperti ini. Jalan keluarnya kita tulis ulang, kita tentukan, presidensial atau parlementer, unitary atau federal. Yang penting, kita memilih sesuatu dan kita konsisten,” tegasnya. (mkf)
Terpopuler
1
Mahasiswa Gelar Aksi Indonesia Cemas, Menyoal Politisasi Sejarah hingga RUU Perampasan Aset
2
Menyelesaikan Polemik Nasab Ba'alawi di Indonesia
3
Rekening Bank Tak Aktif 3 Bulan Terancam Diblokir, PPATK Klaim untuk Lindungi Masyarakat
4
Advokat: PT Garuda dan Pertamina adalah Contoh Buruk Jika Wamen Boleh Rangkap Jabatan
5
Hadapi Tantangan Global, KH Said Aqil Siroj Tegaskan Khazanah Pesantren Perlu Diaktualisasikan dengan Baik
6
Israel Tarik Kapal Bantuan Handala Menuju Gaza ke Pelabuhan Ashdod
Terkini
Lihat Semua