Warta

Urusan Shalat Harus Tetap Berpegang pada Al-Qur'an

NU Online  ·  Rabu, 23 Maret 2005 | 09:06 WIB

Jakarta, NU Online
Rais Syuriah PBNU, KH. Ma'ruf Amin mengatakan, larangan perempuan menjadi imam shalat yang makmumnya laki-laki adalah mutlak. Karena itu kalau pun ada orang yang mencoba-coba mengutak-atik masalah ini, bahkan sampai larangan itu dilanggar dalam arti perempuan menjadi imam bagi kaum laki-laki, jelas-jelas tidak dapat dibenarkan.

Penegasan KH Ma'ruf Amin tersebut dikemukakan kepada NU Online melalui telpon selularnya, Rabu [23/3], menanggapi sebuah pemberitaan yang menyebutkan adanya seorang Profesor Kajian Islami di Virginia Commonwealth University AS Amina Wadud yang berusaha mengubah kebiasaan, dengan memimpin shalat Jumat yang diikuti oleh jamaah wanita dan pria.

<>

Shalat Jumat itu sendiri diikuti oleh 150 jamaah, dan dilangsungkan di Gereja Anglikan di New York. Alasannya hanyalah menyangkut, isu persamaan gender. Dia berdalih dengan shalat Jumat itu, umat Islam akan melangkah maju. Setelah sekian lama, kaum muslimin menggunakan interpretasi yang sangat ketat atas sejarah sehingga mengalami kemunduran. Acara salat Jum`at yang mengundang rasa aneh tersebut diliput sejumlah TV Arab ketika Prof. Aminah Wadoud, dosen Dirasaat Islamiyah (studi Islam) di Universitas itu mengambil alih tugas yang diamanatkan syariat hanya kepada pria dewasa saja.

Menanggapi hal tersebut, KH. Ma'ruf Amin yang juga Ketua Komisi Fatwa MUI itu mengatakan, sangat tidak benar alasan menjadi imam shalat hanya karena isu persamaan gender."Dalam urusan shalat, setiap umat Islam harus senantiasa berpegangan pada ketentuan yang sudah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya," tegasnya.

Disebutkan, memang ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang menyebutkan, Rasulullah pernah menyuruh Ummu Warakah untuk mengimami shalat. Tapi seluruh ulama berpendapat, bahwa perintah itu hanya berlaku bagi Ummu Warakah, dan yang menjadi makmum pada saat itu, bukanlah laki-laki merdeka, melainkan budak-budak.

Kalau memang imam wanita boleh, tentunya Siti Aisyah RA sepeninggal Nabi ditunjuk menjadi imam shalat, karena beliau adalah wanita yang sangat alim. "Tapi nyatanya kan tidak. Ini menunjukkan bahwa memang wanita tidak boleh menjadi imam," tegasnya.

Larangan menjadi imam bagi kaum perempuan itu sendiri, merupakan penyelamatan bagi kaum wanita. Bayangkan saja kalau ada wanita yang jadi imam dan makmumnya laki-laki, tentunya ketika ruku, kaum laki-laki akan menyerbu ke depan, bukan khusyu shalat. "Hal-hal yang demikian ini yang tidak dipahami oleh kaum perempuan," katanya.

Menurut Ma'ruf Amin, kalau ada orang-orang yang memaksakan kehendak mengubah aturan baku yang sudah diajarkan oleh Alquran, jelas orang tersebut punya kecenderungan merusak Islam, dan memancing-mancing untuk terciptanya perpecahan di kalangan umat Islam.  "Ini harus kita waspadai, bahkan jika hal ini dibesar-besarkan cenderung akan memunculkan pertentangan baru," tandasnya.

Kyai Ma'ruf menambahkan, masalah aturan shalat itu bukanlah tradisi, melainkan aturan baku, sehingga tidak perlu diganggu gugat. "Kalau tradisi itu aturan yang dibuat manusia dan hanyalah berdasarkan asas kepantasan, tapi kalau sudah ketentuan syariah itu merupakan aturan yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, jadi tidak bisa diganggu gugat," tegasnya.

Karena itu, lanjut cucu kyai Nawawi Al-Bantani, lebih baik kita memberdayakan umat Islam daripada harus menyikapi persoalan kontemporer yang tidak berdasarkan syar'i. "Masih banyak hal yang harus kita lakukan bersama untuk membangun Islam daripada mensoalkan perkara itu," tandasnya mengakhiri pembicaraan. (cih)