Warta MENGENANG TSUNAMI ACEH

Upaya PBNU Rehabilitasi Dayah

NU Online  ·  Rabu, 26 Desember 2007 | 13:50 WIB

Jakarta, NU Online
Tsunami pada Minggu pagi 26 Desember 2004 lalu telah menjadi kiamat kecil bagi rakyat Aceh. Apapun dan siapapun diterjangnnya sehingga banyak anak kehilangan orang tua atau sanak saudara.

Dayah, nama lokal untuk pesantren di Aceh juga mengalami hal yang sama, banyak diantaranya yang hancur lebur dan yang masih tersisa pun menanggung beban berat untuk membantu para korban dengan menampung mereka di lingkungan dayah, sebisanya dan semampunya.

<>

Lembaga inilah yang menjadi fokus perhatian PBNU dan perangkatnya. Sebagian besar bantuan yang diberikan diarahkan ke pesantren dan masyarakat sekitarnya yang kala itu kurang mendapatkan perhatian memadai dari fihak lain.

Tercatat sebanyak 1200 santri telah dibantu beasiswanya oleh PBNU agar mereka bisa terus belajar di 23 pesantren. Juga telah dibangun kembali Pesantren Babussalam di Aceh Besar dengan nilai lebih dari 1 milyar agar para santri bisa belajar kembali.

Seluruh NU dengan lembaga dan badan otonomnya memang bahu membahu membantu mereka yang menjadi korban tsunami ini. Ansor, Muslimat, Fatayat, IPNU, IPPNU dan lembaga lainnya bekerja mulai dari evakuasi mayat sampai dengan penanganan psikologi pasca trauma bagi para korban.

Tak ketinggalan, para ustadz pun diberangkatkan ke Aceh untuk memberikan bekal ilmu agama bagi para santri sebagai bagian dari komitmen NU memperhatikan masalah pendidikan Islam di Aceh. Demikian pula, PBNU telah mengirimkan sebanyak 36.000 kaleng daging kurban yang dibikin kornet agar bisa tahan lama dan bisa dinikmati rakyat Aceh.

NU dan pesantren memang tak bisa dipisahkan. Upaya PBNU untuk membantu pesantren ini mendapat respon luar biasa dari para santri di pulau Jawa. Mereka pun dengan sukarela membantu mengajar disana, bahkan merasa kurang puas dikirimkan hanya sebulan ke Aceh.

"Waktu sebulan sangat singkat, anak-anak yang kami tinggalkan di sana sebenarnya tidak rela dengan kepulangan kami," kata Barmawi, salah satu relawan Aceh setibanya di Ponpes Lirboyo Kediri.

Dalam menjalankan tugas kemanusiaan tersebut semua santri mengaku hanya mengharap ridho dari Tuhan sehingga mereka pun antusias ingin berangkat kembali ke tanah rencong.

Lebih lanjut Barmawi mengatakan, selama di Aceh, dia dan puluhan santri Ponpes Lirboyo lainnya tidak mengalami kesulitan berarti. "Kalau pun kesulitan air dan sebagainya, itu adalah hal yang wajar karena memang daerah tersebut baru terkena bencana besar," tuturnya.

Selama 26 hari bertugas di Aceh mereka ditempatkan di 8 pondok pesantren yang tersebar mulai dari Aceh Besar hingga Lhokseumawe. Mereka terbagi dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok terdiri dari  3 sampai 4 orang dan mendapat tugas secara bergiliran.

Kini, semuanya berusaha untuk bangkit kembali. Sebagian orang telah melupakan tsunami ini, namun bagi para korban, kejadian ini tak kan terlupakan. Perdamaian juga telah disepakati dan kini waktunya bagi rakyat Aceh untuk membangun kembali wilayahnya agar bisa bangkit setelah konflik berkepanjangan dan bencana alam maha dahsyat. (mkf)