Stiglitz: Sistem Perdagangan Bebas Memang Tidak Adil
NU Online · Kamis, 16 Desember 2004 | 02:47 WIB
Jakarta, NU Online
Dominannya kepentingan politik negara – negara kuat atas negara-negara berkembang dalam sistem perdagangan bebas, yang salah satunya ditunjukkan dengan keengganan negara-negara maju untuk membuka pasarnya bagi hasil-hasil pertanian dari negara berkembang, telah semakin menunjukkan, bahwa sistem perdagangan global telah berjalan secara tidak adil.
Demikian penilaian ahli ekonomi kaliber dunia Joseph E Stiglitz di Jakarta, Selasa (14/12). Stiglitz adalah doktor lulusan Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan kini mengajar di University of Columbia, New York.
<>Karena itu, ekonom yang akrab dipanggil dengan Stiglitz ini menyarankan Indonesia untuk tidak terburu-buru melakukan liberalisasi perdagangan. Stiglitz pun menyebutkan salah satu dari sekian banyak bilangan ketidakadilan sistem perdagangan bebas. Soal subsidi untuk satu ekor sapi di Eropa yang besarnya 2 dollar AS per hari, kata Stiglitz, sungguh tidak sebanding dengan biaya kehidupan sekitar 1 miliar lebih penduduk termiskin dunia yang hidup dengan biaya di bawah 2 dollar AS.
Meski demikian, lanjutnya, subsidi tersebut tetap dipertahankan hingga mengakibatkan produk-produk negara berkembang tidak bisa memasuki pasar negara maju.
Pendapat Stiglitz tersebut diberikan dalam rangka memberikan kuliah umum dengan tema “Isu-isu Ekonomi Terkini dan Dampaknya pada Negara-negara Berkembang" yang disponsori oleh Ikatan Sarjana Ekonomi.
“Kejadian di Cancun adalah contoh yang bagus bagi demokrasi dalam perdagangan global. Lebih bagus tidak punya sistem perdagangan global daripada memiliki sistem perdagangan yang tidak adil,” katanya.
Cancun adalah sebuah kota wisata di Meksiko yang tahun lalu menjadi lokasi pertemuan tingkat menteri WTO dan gagal melahirkan kesepakatan negara berkembang atas tekanan negara maju untuk membuat pasar, sementara negara maju tidak mau membuka pasarnya bagi komoditas pertanian dari negara berkembang.
Berdasarkan hal itu, Stiglist menilai bahwa sistem perdagangan global penuh ketimpangan. “Saya bicara di Geneva di ruangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bersama sejumlah pebisnis dan tokoh WTO, tak satu pun yang setuju bahwa sistem perdagangan global berlangsung adil,” katanya.
Namun saat memberikan kuliah umumnya, Stiglitz juga memperingatkan seraya memberikan contoh-contoh menggelitik, yang juga sangat penting untuk diperhatikan oleh Indonesia, termasuk pada pembuat kebijakan ekonomi.
Menurut Stiglitz, betapa banyak negara di dunia yang gagal memakmurkan rakyatnya dan hanya menguntungkan kaum kaya karena peluncuran kebijakan yang salah arah.
Dia mengingatkan lagi pada kasus di negara-negara Amerika Latin yang hanya menguntungkan kaum kaya. Venezuela adalah contoh lain yang dia berikan, di mana dua pertiga warga hidup sangat miskin dan sepertiga kaya raya.
Menurut Stiglitz, semua itu disebabkan kawasan itu adalah murid paling penurut kepada IMF dan Bank Dunia, yang jelas-jelas telah melakukan kesalahan besar dalam resep-resep ekonomi, dan telah pula menjerumuskan Rusia ke dalam resesi ekonomi yang buruk.
Salah satu penyebabnya adalah, resep-resep ekonomi IMF dan Bank Dunia yang fokus kepada stabilisasi, liberalisasi, swastanisasi yang disebut sebagai resep dari Konsensus Washington (IMF, Bank Dunia dan Departemen Keuangan AS).
Dia mengatakan swastanisasi (privatisasi), liberalisasi dan stabilisasi itu penting. Namun, persoalannya, ketiga hal itu seringkali dilakukan terburu-buru dan dipaksakan. Tetapi Konsensus Washington lupa bahwa ada sekelompok masyarakat, pekerja yang tidak siap dengan liberalisasi dan swastanisasi itu.
Di sisi lain, liberalisasi dan swastanisasi tidak serta merta harus meniadakan peran pemerintah, yang justru termasuk menjadi tujuan Konsensus Washington. Akibatnya, hanya yang mampu dan bisa ikut arus yang bisa mendapatkan cipratan dari pembangunan.
"Akibatnya, dekade 1980-an adalah dekade yang hilang bagi Amerika Latin dan sekarang ini juga menjadi sebuah kawasan yang memiliki kehilangan," kata Stiglitz.
Dengan mudah, Stiglitz juga telah menjelaskan betapa krisis Asia telah menjadi contoh lain dari kegagalan total resep IMF. Indonesia, kata Stiglitz, mengalami krisis justru karena dampak dari liberalisasi dan deregulasi sektor keuangan dan dekade 1980-an.
Deregulasi sektor keuangan telah melahirkan sejumlah perbankan dengan modal-modal kecil pula. Dari segi saja, deregulasi tersebut telah menciptakan sebuah kerapuhan yang bagaikan bom waktu. Di samping itu, dengan deregulasi yang relatif tanpa kontrol telah melahirkan efek yang menyeba
Terpopuler
1
Isi Akhir dan Awal Tahun Baru Hijriah dengan Baca Doa Ini
2
Data Awal Muharram 1447 H, Hilal Masih di Bawah Ufuk
3
Trump Meradang Usai Israel-Iran Tak Gubris Seruan Gencatan Senjata
4
Pengumuman Hasil Seleksi Wawancara Beasiswa PBNU ke Maroko 2025, Cek di Sini
5
Istikmal, LF PBNU Umumkan Tahun Baru 1447 Hijriah Jatuh pada Jumat, 27 Juni 2205
6
Menlu Iran ke Rusia, Putin Dukung Upaya Diplomasi
Terkini
Lihat Semua