Warta

Standardisasi Pesantren Jangan Mengarah pada Pendangkalan

NU Online  ·  Senin, 25 Januari 2010 | 11:33 WIB

Jakarta, NU Online
Keinginan Pemerintah melakukan standardisasi pendidikan pesantren harus melalui kajian yang melibatkan pondok pesantren sendiri agar kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan masyarakat pesantren, dan tidak malah mengarah pada pendangkalan.

Sebenarnya pemerintah tinggal mengimplementasikan paradigma pendidikan tanpa diskriminasi sesuai pesan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tanpa harus melakukan “campur tangan” terhadap kekhasan pendidikan di pondok pesantren.<>

Demikian dikatakan HM Sulthan Fatoni, Wakil Sekretaris Pengurus Pusat Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia atau Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU) kepada NU Online di Jakarta, Senin(25/1), terkait berbagai program Departeman Agama dan Departemen Pendidikan Nasional yang mengarah pada standarisasi pesantren.

“Upaya menghapus diskriminasi tersebut juga sebenarnya telah dilakukan Pemerintah dengan menerbitkan PP No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Hanya saja persoalannya, implementasi PP tersebut perlu disempurnakan agar tidak mengganggu kekhasan pendidikan pesantren,” katanya.

Ia mencontohkan, saat ini beberapa pesantren telah mengikuti wajar Dikdas dengan keharusan pihak pesantren memasukkan ke dalam kurikulumnya muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam.

Sayangnya, menurut Sulthan, pihak Departemen Pendidikan Nasional mengatur bahwa muatan wajib tersebut diselenggarakan secara terpisah, tidak integral dalam sebuah kurikulum pendidikan diniyah di pesantren, termasuk ijazah wajar Dikdas yang Pemerintah terbitkan, disamping ijazah yang diterbitkan oleh pihak pesantren.

“Pertanyaan beberapa pondok pesantren, kenapa harus ada dua ijazah bagi peserta didik di pesantren? Kenapa Pemerintah tidak menganggap cukup dengan ijazah yang diterbitkan pesantren saja?” kata Sultan yang juga Dosen FISIP Universitas Nasional Jakarta

Pada pendidikan diniyah tingkat menengah, sampai saat ini Pemerintah mempunyai kebijakan yang berbeda dengan format Wajar Dikdas, yaitu memberikan legalitas tanpa harus menerbitkan ijazah sendiri, jadi Pemerintah menganggap cukup ijazah yang dikeluarkan pihak pesantren.

“Beberapa pesantren menganggap model legalitas pemerintah di tingkat  pendidikan diniyah menengah lebih mendekati rasa keadilan,” katanya.

Ia menegaskan, keinginan Departemen Agama yang akan melakukan standardisasi pendidikan pesantren perlu difokuskan pada pengakuan legalitas, peningkatan kualitas, dan persamaan hak.

“Dengan demikian standardisasi tersebut memberikan jaminan atas keragaman pondok pesantren, termasuk jaminan tidak adanya proses pendangkalan struktural,” pungkasnya. (nam)