Soal Ambalat: Diplomasi Yes, Mahkamah Internasional NO!
NU Online · Rabu, 23 Maret 2005 | 09:45 WIB
Jakarta, NU Online
Meski diplomasi dipilih untuk mempertahankan Blok Ambalat dan Ambalat Timur yang diklaim oleh Malaysia sebagai miliknya. Indonesia tetap harus menghindarkan penggunaan Mahkamah Internasional (MI) sebagai pilihan penyelesaian diplomasi, sebab di samping biayanya sangat mahal, posisi Indonesia terlalu lemah di MI. Hakim-hakim MI yang banyak dari warga negara persemakmuran dipastikan cenderung memihak Malaysia. Selain itu Malaysia memiliki kejelian yang lebih jika dibandingkan dengan para diplomat Indonesia.
“Memang pendekatan diplomatik merupakan cara penyelesaian yang sangat bijaksana pada saat ini. Namun, pendekatan tersebut harus dilakukan dengan perhitungan yang cermat, dari mulai pemilihan figur-figur diplomatnya, kualitas dan kapasitasnya, termasuk integritas moralnya. Ini penting, jangan sampai diplomat dipilih dari orang-orang yang bisa dibeli oleh Malaysia,” ungkap Mantan Duta Besar Indonesia untuk Syria H. Chalid Mawardi dalam Diskusi Bulanan NU Online.
<>Menurutnya, jika merujuk hukum internasional (UNCLOS), RI mempunyai dasar yuridis yang kuat untuk mempertahankan Ambalat karena RI sebagai negara kepulauan yang dapat menarik 12 mil dari kepulauan terluar. Bahkan, dapat menarik 12 mil lagi karena diatur dalam unclose dan hukum laut PBB yakni zona ekonomi eklusif (ZEE) sejauh 200 mil.
Toh, kekuatan hukum itu, menurut Mawardi, bukan harga mati untuk digugat dalam diplomasi, karenanya, kualitas dan intergritas diplomat sangat menentukan dalam mempertahankan Ambalat dari klaim Malaysia.
“Jadi tidak cukup hanya dengan modal dasar yuridis saja, kualitas diplomasi dan integritas moral sangat menentukan bagi para wakil Indonesia dalam mempertahankan Ambalat dalam perundingan dengan pihak Malaysia,” tandasnya.
Pendapat Mawardi yang sarat dengan pengetahuan diplomatik dan hukum kelautan itu pun dikuatkan dengan pendapat dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang, E. Maxillian P, SH MH, sebagaimana dikutip dari Suara Karya hari ini. Dia mengatakan, bahwa penyelesaian diplomatik boleh-boleh saja, tetapi harus hati-hati jangan sampai ke Mahkamah Internasional. Malaysia lebih jeli dan hakim-hakim pada Mahkamah Internasional banyak dari warga negara pesemakmuran yang akan membela Malaysia.
Sebelum sampai pada Mahkamah Internasional, katanya, dapat diajukan pada Mahkamah Administrasi Internasional atau Mahkamah Hukum Laut Internasional.
Seruan kehati-hatian tersebut sangat beralasan, sebab menurut Mawardi, Malaysia menyetujui ajakan Indonesia untuk membawa sengketa tersebut ke Mahkamah Hukum Laut Internasional (the International Tribunal for the Law of the Sea) disambut dengan gembira oleh pihak Malaysia. “Itu berarti Malaysia jeli betul apa saja kelemahan yang dimiliki Indonesia, sebab Indonesia sebagai Negara Kepulauan seperti halnya Philipinna diakui dalam hukum laut internasional untuk menetapkan batas sejauh 200 mil dari pulau terluarnya. Malaysia yang notabene negara pantai biasa hanya memiliki 12 mil pengukuran batas teritorialnya, jadi klaim Ambalat sebagai wilayah Malaysia dapat dimentahkan oleh Mahkamah Hukum Laut Internasional, tetapi kita harus bertanya, kenapa Malaysia justeru bersedia,” ungkapnya seraya mengulangi penegasannya tentang kompleksnya informasi yang mungkin dimiliki Malaysia berkaitan dengan kerapuhan Indonesia.
Saran Mawardi, dan Maxillian agar tidak sembarangan memilih diplomat dan menolak penyelesaian melalui MI perlu dipertimbangkan betul. Sebab pengalaman penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan dengan negara bekas pimpinan PM Mahathir Mohammad di MI yang berbuah kekalahan Indonesia karena tidak mengindahkan nasehat para ahli hukum dan politik dari Indonesia sendiri yang sudah kenyang “asam garam” diplomasi. Meski kalah memperebutkan Sipadan dan Ligitan, Indonesia harus menguras duit negara sebesar 1,6 juta dollar AS, untuk membayar biaya pendaftaran dan proses di MI, serta advokat asing.
Tim Indonesia dalam pertarungan di arena Mahkamah Internasional terdiri dari 5 counsel & advocates yang terdiri dari orang-orang Perancis, Inggris dan Belanda serta 2 counsel yang keduanya juga orang Perancis. Bandingkan dengan Tim advokat dari pihak Malaysia terdiri 4 orang counsel yang kesemuanya ahli hukum Malaysia.
Karena terlalu bangga dengan pakar-pakar asing, yang tidak berkutik menghadapi advokat – advokat Malaysia yang sudah didukung hakim-hakim MI. Entah apa yang dipikirkan Pemerintah Indonesia, sehingga mengabaikan para pakar kelautan dan hukum laut Indonesia sendiri yang diakui oleh dunia internasional seperti Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal. Kontribusi mereka terhadap Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) terutama pada pasal-pasal Konsep Negara Kepulauan telah diakui dunia. Mereka tidak tercantum sebagai anggota tim yang bertarung di Mahkamah Internasional
itu.
Pantas saja, Mawardi dan Maxillian memberikan saran seperti dikemukakan di atas, sebab, Prof Hasjim Djalal sendiri sebenarnya tela
Terpopuler
1
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
2
Houthi Yaman Ancam Serang Kapal AS Jika Terlibat dalam Agresi Iran
3
Menlu Iran Peringatkan AS untuk Tanggung Jawab atas Konsekuensi dari Serangannya
4
Pengumuman Hasil Seleksi Wawancara Beasiswa PBNU ke Maroko 2025, Cek di Sini
5
Mudir 'Ali JATMAN: Tarekat adalah Warisan Asli Wali Songo
6
Trump Meradang Usai Israel-Iran Tak Gubris Seruan Gencatan Senjata
Terkini
Lihat Semua