Slamet Rahardjo: Mohon Maaf Pak Said, Mohon Maaf NU!
NU Online · Selasa, 21 September 2010 | 02:40 WIB
Adalah film baru ‘Sang Pencerah’ yang mengisahkan perjuangan KH Ahmad Dahlan, tokoh dan pendiri Muhammadiyah. Film ini memerankan Slamet Rahardjo Djarot, budayawan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim (Lesbumi) NU sebagai seorang Penghulu Kraton yang membela Islam Pribumi yang menjadi sasaran serangan Ahmad Dahlan itu.
Kata Slamet, jika pun lakon yang diperankan itu menyingung perasaan kaum Nahdliyin, ia minta maaf. Terutama saat menjalankan adegan nyekar ke makam leluhur. Lalu ia ‘diserang’ oleh Ahmad Dahlan dan dituduh sebagai musyrik.<>
“Mohon maaf Pak Said (Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, red). Mohon maaf NU bila peran yang ini menodai tradisi NU,” katanya kepada NU Online dalam acara temu alumni PMII di Jakarta awal bulan lalu.
Slamet dipilih sebagai penghulu, bukan hanya karena ia aktor yang serba bisa, tetapi juga memiliki tampang seram dan wibawa. Lagi pula sebagai orang NU yang gigih membela tradisi, ia tahu persisi bagaimana tradisi Islam jawa harus dipertahankan. Ini kekuatan utama keaktoran Slamat Rahardjo dalam film itu.
Semuanya ia jalankan dengan kesungguhan, bahkan debat dengan kelompok modernis Muhammadiyah dijalankan dengan sungguh-sungguh, karena dia sebagai pembela tradisi.
Slamet mengaku ia menjadi NU karena hanya NU yang membiarkan orang-orang seperti dia bisa menjadi Jawa, tidak harus menjadi Arab, sehingga ia tetap bisa nyekar ke makam leluhur dan makam wali, tirakat, tawasul dan ritual Jawa lainnya. Sebagai pengobat rasa gundahnya akan sembuh kalau suatu ketika ia diperankan dalam Film NU.
Film ‘Sang Pencerah’ sendiri dibuat oleh PP Muhammadiyah dengan biaya belasan miliar rupiah, diharapkan bisa mengangkat citra Muhammadiyah. Menurut banyak pengamat secara sinematografi film ini cukup bagus.
Tetapi film tidak bisa dinilai hanya dari segi estetika, ketepatan cerita menjadi pertimbangan utama dalam film sejarah seperti ini, sebab kalau ada sedikit ketidakpuasan bahkan kontroversi dari kelompok masyarakat, film akan ditolak, maka akan kehilangan pemirsa.
Film ini memang banyak memojokkan kraton sebagai penyangga Islam tradisional. Kalau masyarakat kraton dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya telah bisa menerima tidak masalah, tetapi kalau masyarakat kraton Yogya menolak ini bahaya. (mdz/nam)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menyiapkan Bekal Akhirat Sebelum Datang Kematian
2
Menyelesaikan Polemik Nasab Ba'alawi di Indonesia
3
Khutbah Jumat: Tetap Tenang dan Berpikir jernih di Tengah Arus Teknologi Informasi
4
Resmi Dilantik, Berikut Susunan Lengkap Pengurus PP ISNU Masa Khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Perhatian Islam Terhadap Kesehatan Badan
6
Tuntutan Tak Diakomodasi, Sopir Truk Pasang Bendera One Piece di Momen Agustusan Nanti
Terkini
Lihat Semua