Warta RAMADHAN DI AUSTRALIA

Slamet Effendy Bicara Soal Politik Islam dan Islam Politik

NU Online  ·  Rabu, 8 September 2010 | 09:48 WIB

Adelaide, NU Online
Menjelang akhir Ramadhan tahun ini pengurus NU Adelaide-South Australia bekerjasama dengan Masyarakat Islam Indonesia Australia Selatan (MIIAS) kembali kedatangan tamu dari PBNU yakni Drs H Slamet Effendy Yusuf, MSi.

Dalam memanfaatkan kedatangan salah satu pengurus teras PBNU dilakukan kajian mendalam  seputar “Relasi Islam dan Negara; Mencari Strategi Ideal” pada hari Selasa 7 September 2010. <<>;br />
Dalam pengantar diskusi yang dimoderatori oleh Falik Isbah ini, dijelaskan bahwa ada beberapa distingsi yang mesti dibedakan antara term "Islam Politik " yang lebih menekankan subyek atau individu-individu yang menggerakan Islam ke dalam instrument politik sedangkan term "Politik Islam" lebih dimaksudkan sebagai kecenderungan untuk mentransformasikan Islam dalam mesin politik kekuasaan.

Pak Slamet biasa beliau disapa mengingatkan bahwa gerakan apapun ketika masuk ke dalam dunia politik  dimana “hukum politik” akan berlangsung, maka idealisme nilai-nilai Islam bisa mengalami tabrakan satu sama lain seperti dilaporkan oleh kontributor NU Online di Adelaide Adib Abdushomad. 

Menurut salah satu ketua MUI bidang toleransi ini, sekarang pilihannya adalah apakah kita ini akan mempertahankan model yang rigid berjuang dibawah partai berbasis Islam atau akan membaur dengan konteks kebangsaan Islam.

Menurutnya lebih baik masuk ke berbagi partai-partai dan bisa ikut mewarnai kebijakan yang ada di sana. Dengan cara konfiguratif ini, maka kepentingan- kepentingan Islam bisa terakomodasikan dan nyatanya sudah terjadi akomodasi parsial.

Tujuan akmodasi negara terhadap kepentingan kelompok masyarakat yang besar (Islam) agar supaya berbagai kepentingan mereke terlindungi secara hukum, seperti adanya Asuransi Islam, UU zakat, UU Haji, UU Peradilan Agama dan lain sebagainya.

Model Penyerapan Hukum Islam

Menurut Slamet, mengutip hasil keputusan Mukatamar ke-32 di Makassar 2010,  ada tiga startegi penyerapan  hukum Islam dalam Hukum Nasional. Pertama bersifat formalistik (rasmiyyah).

NU memandang ada beberapa bagian-bagian hukum Islam yang harus diserap dalam hukum nasional secara formal dan hanya berlaku bagi umat Islam sebagai konsekuensi tugas negara yang memberikan pelayanan untuk memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk menjalankan ajaran Islam, seperti zakat, wakaf, peradilan agama, haji, wasiat dan perbankan syariah pada umumnya.

Kedua, secara substansial (dzaatiyah) dalam hal ini NU menyadari bahwa ajaran Islam adalah ajaran universal (rahmatan lil alamin) untuk itu NU berupaya agar nilai-nilai ajaran Islam dapat dirasakan kemaslahatannya oleh seluruh umat manusia. Dalam hal ini karena sistem politik bangsa Indonesia belum memungkinkan ajaran Islam secara formal, maka NU memperjuangkan nilai-nilai substansi dalam peraturan perundang-undangan seperti pornografi, perjudian, penyalahgunaan narkoba, korupsi, dan lain sebagainya.

Ketiga, penyerapan secara essential (ruhiyyah). Dalam hal ini spirit (ruh) ajaran Islam menjadi titik tekannya. Jika yang pertama itu memang ketentuan yang ada dalam syari’ah dijadikan produk undang-undang secara formal, maka pada level ini berupaya mendekatkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, misalnya Pidana agar lebih mendekati nilai ajaran Islam. Dengan demikian akan semakin menjauhkan pelaku tindak pidana dari berbagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. (mad)