Warta PROSESI MAULID DI NUSANTARA (5)

Sentuhan Adat dan Agama dalam Peringatan Maulid di Tolitoli

NU Online  ·  Ahad, 23 Maret 2008 | 04:11 WIB

Tolitoli, NU Online
Puluhan panitia peringatan Nabi Muhammad SAW 1429 Hijriah pagi itu berpakaian adat dan berjejer rapi di pintu masuk kompleks rumah adat Tolitoli, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Orang di kota Tolitoli menyebut rumah adat ini dengan sebutan "Bale Masigi". Rumah adat itu terletak di Kelurahan Nalu, Tolitoli kota, dibangun di atas tanah bekas Kerajaan Tolitoli yang berkuasa ketika itu. Di sinilah peringatan Maulid Nabi tahun ini dirayakan.<>

Setidaknya terdapat 11 Walasuji (miniatur masjid yang dihias dengan telur ayam dan diberi warna wani) berjejer rapi tidak jauh dari depan undangan. Dalam walasuji itu terdapat nasi ketan yang dibungkus dengan daun pisang, selain ada juga kue khas seperti cucur.

Walasuji yang dipersembahkan masyarakat di lingkungan Kelurahan Nalu itu turut menghiasi pernak-pernik peringatan Maulid kali ini.

Tamu-tamu yang hadir disambut dengan dentuman musik rebana yang ditabuh oleh sekelompok orang berpakaian adat, sehingga menambah aroma adat dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Mereka yang hadir dalam acara ini tidak saja dari kalangan pejabat, tetapi juga pemangku adat dan keturunan raja Tolitoli H. Anwar Bantilan, Ketua Dewan Adat Tolitoli H. Ibrahim Sauda, serta dari rakyat kebanyakan yang sebagian diantaranya dari pulau Lutungan, sebuah  pulau kecil terletak di depan pintu masuk Pelabuhan Dede Tolitoli. Di pulau ini terdapat kuburan Raja Bantilan.

Peringatan Maulid yang berlangsung dengan suasana kekerabatan dalam bingkai budaya itu hanya dilaksanakan oleh kelurahan Nalu, sebuah kelurahan yang syarat dengan nilai kebudayaan Tolitoli.

Di kelurahan ini pula pernah berdiri rumah Kerajaan Tolitoli. Namun rumah itu tidak sempat diabadikan karena termakan usia, sebab yang tertinggal hanya sebuah tiang bangunan rumah. Tiang inilah yang kemudian dijadikan prasasti bersejarah.

Agar tetap dikenang dan menjadi bagian dari khasanah kebudayaan Nusantara, Pemkab Tolitoli kemudian membangun sebuah rumah adat di atas tanah tersebut  menyerupai desain rumah aslinya.

Kamis (20/3) hari itu, rumah adat diramaikan dengan hiruk pikuk orang mengikuti perayaan Maulid Nabi 1429 Hijriah. Anak-anak dan orang tua dengan riang rebutan telur yang dipajang di atas walasuji yang sudah dinilai lebih dulu oleh tim dari Depag Tolitoli dan Dewan Adat.

Mereka yang mendapat penilaian bagus karena memenuhi beberapa syarat, antara lain kerapian walasuji dan tingkat kerumitan pembuatannya, kelengkapan isi (telur, nasi pulut, dan sejenis kue tradisional), serta tingkat rasa dari makanan yang disajikan di dalamnya.

Selain disuguhi musik qasidahan, para tamu juga dipertontonkan ragam budaya tradisional seperti "Kun Tau" (seni bela diri asal Cina yang telah ratusan tahun merambah kampung-kampung di Provinsi Sulteng), rebbana (alat musik dari kulit sapi), atraksi kekebalan tubuh, dan musik tradisional lainnya seperti kulintang.

Bagi masyarakat Tolitoli, seni bela diri Kun Tau sudah dikenal sejak ratusan tahun, namun belakangan ini amat jarang dijumpai.

Yang tersisa saat ini salah satunya perguruan Pencak Silat Elang Sakti dengan jumlah murid 40-an orang. Pusat perguruannya pun hanya ada di pulau Lutungan. Untuk menuju tempat ini harus menggunakan perahu motor dengan perjalanan antara 10-20 menit dari Pelabuhan Dede Tolitoli.

Alim Imba (50), guru dari perguruan ini, menuturkan Kun Tau nyaris punah karena kesulitan guru. Umumnya pentolan seni bela diri impor tersebut banyak terdapat di desa-desa, dan itu pun hanya satu-dua orang tua usia senja yang masih menguasainya.

Alim juga mengaku kesulitan mengembangkan seni bela diri tersebut karena kesibukannya sebagai petani. Padahal seni bela diri ini kerap ditampilkan saat ada acara-acara pesta pernikahan, panen raya, dan pesta adat lainnya.

Agar latihan Kun Tau tetap berjalan, Alim menunjuk salah seorang asistennya untuk terus melatihkan kepada anak-anak yang mau belajar agar tidak punah.

"Perguruan ini baru eksis kembali setelah Idul Fitri lalu. Untuk mengembangkannya kami kesulitan terutama fasilitas," kata Alim, yang juga turut hadir dalam perayaan Maulid nabi kali ini.

Lain lagi dengan "Perguruan Mardatillah", sebuah perguruan bela diri yang lahir tahun 1999 di Tolitoli. Perguruan yang mengedepankan zikir ini juga tampil pada perayaan Maulid kali ini. Mereka memperagakan kekebalan tubuh dengan cara memotong-motong bagian organ tubuh mereka sendiri.

Syarifuddin (50), guru dari perguruan ini, mengatakan sejak organisasi bela diri ini didirikannya delapan tahun silam, hingga saat ini sudah memiliki sekitar 8.000 murid. Mereka tersebar di sejumlah Kabupaten di Sulteng.

"Perguruan ini mengandalkan zikir. Tujuannya utamanya untuk mendalami agama, ilmu keselamatan dunia dan akhirat," kata dia.

Tidak kalah menariknya, sejumlah anak usia belasan tahun dengan mengenakan berpakaian khusus menabuh rebbana dan menimbulkan suara bertalu-talu. Alunan musik yang mereka mainkan saling bersahutan hingga membuat undangan terperangai.

Penabuh rebbana ini sengaja didatangkan dari desa Lakatan, sekitar lima kilometer arah Utara kota Tolitoli.

Rebbana merupakan alat musik tradisional yang biasanya hanya dimainkan oleh orang-orang tua. Untuk menjaga agar musik ini tidak punah dan memiliki generasi, sejumlah anak usia belasan tahun dilatih memainkan alat musik tersebut.

Di kota Tolitoli sendiri, rebbana biasanya digunakan saat acara pesta perkawinan, menyambut tamu kehormatan, dan pesta adat.

Bupati Tolitoli, HM Ma’ruf Bantilan, dalam sambutannya mengatakan peringatan Maulid kali ini sebaiknya dijadikan momentum untuk mengevaluasi kualitas hidup masyarakat di daeran produsen cengkeh itu.

"Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik lagi dari hari ini," kata dia mengingatkan kepada umat di daerahnya yang percaya pada Rasullullah Muhammad SAW. (ant/mad)