Warta

Rozy Munir: Pilkada Sebaiknya Diundur

NU Online  ·  Rabu, 4 Mei 2005 | 05:41 WIB

Jakarta, NU Online
Berbagai persoalan yang melanda KPU dan KPUD di berbagai wilayah memberi pengaruh terhadap rencana pelaksanaan Pilkada yang mulai dilaksanakan Juni mendatang. Mantan anggota Panwaslu Pusat HM Rozy Munir berpendapat sebaiknya Pilkada ditunda sampai tiga bulan mendatang.

“KPUD akan terpengaruh dengan gonjang-ganjing KPU Pusat, mana yang harus diundur  dan mana yang tidak harus dilakukan. Hal lain adalah anggaran disana-sini masih ribut, tidak hanya kekurangan anggarannya, dana talangan bagaimana proses pencairannya juga masih jadi persoalan. Ada memang daerah gemuk yang cepat bisa nangani masalah anggaran  tapi ada yang tidak,” tandasnya kemarin.

<>

Ketua PBNU tersebut juga mengemukakan beberapa alasan lainnya untuk mendukung penundaan pelaksanaan Pilkada yang diantarnya adalah disetujuinya judicial review dari MA yang diajukan oleh beberapa LSM dan KPUD.

Judicial review tersebut berakibat perlunya Perpu baru yang mana Perpu No 3 tahun 2005 berlambat keluar. selain itu, PP No 6 yang dulu sudah keluar terpaksa diganti dengan PP No. 17 untuk teknis penjabaran Perpu. “Dengan demikian, teknis penjabaran dalam Pilkada mundur padahal aturannya harus 180 hari atau 6 bulan,” tandasnya.

Persoalan lainnya adalah banyak Panwas Pilkada yang belum dibentuk padahal sudah dilakukan penafsiran data, bahkan pendaftaran calon. jika tahapan-tahapan Pilkada tidak dilakukan secara lengkap mungkin akan ada kecurangan yang tak terawasi seperti curi start kampanye dan lainnya.

“Sekarang sudah mulai muncul masalah-masalah yang krusial, para calon sudah membawa massa pendukungnya ke KPUD, kalau tidak ada Panwas Pilkada bisa runyam. Karena itu perlu dilakukan penataan yang lebih baik,” tandasnya.

Dikatakannya bahwa potensi konflik dalam Pilkada cukup lumayan terutama isu putra daerah dan pendatang, partai yang sedang berkuasa yang ingin mempertahankannya dengan berbagai cara untuk menang, termasuk adanya potensi konflik internal partai sendiri yang memiliki calon lebih dari satu yang dititipkan ke partai lain.

“Kepengurusan kembar di beberapa partai juga menjadi masalah dalam Pilkada, termasuk daerah yang memang langganan konflik selama pemilu yang lalu. Persoalan lainnya adalah money politik karena mempertaruhkan kursi paling top di daerahnya,” tambahnya.

Tentang Desk Pilkada yang sempat diributkan beberapa waktu lalu, mantan menteri BUMN tersebut berpendapat mestinya memang bagus untuk memberi masukan. Tapi yang dikhawatirkan adalah adanya campur tangan Depdagri. Jangan sampai Desk Pilkada turut melakukan pengawasan seperti yang dilakukan oleh Panwas Pilkada yang dibentuk DPRD.

“Desk Pilkada dibentuk untuk melakukan pemantauan oleh Depdagri, tetapi strukturnya dipertanyakan karena birokrasi dan seolah-olah ada eselon ring sehingga para pengawas yang dari perguruan tinggi dan wakil independen seolah-olah jadi pendamping saja,” imbuhnya.

Terakhir yang saat ini menurutnya sudah diperbaiki adalah aturan bahwa PNS tidak boleh jadi Panwas Pilkada sudah dicabut. Menurut pengalamannya dilapangan dalam pemilu 2004 para dosen dan guru tenaganya sangat dibutuhkan dalam membantu melakukan pengawasan.(mkf)