Warta

RI Tunggu Sikap Shell Soal Ambalat

NU Online  ·  Jumat, 25 Maret 2005 | 10:02 WIB

Jakarta, NU Online
Departemen Luar Negeri RI saat ini masih  menunggu sikap perusahaan minyak Shell yang mendapatkan teguran keras dari Pemerintah Indonesia berkaitan dengan konsensi yang diterimanya dari perusahaan minyak milik Malaysia, Petronas,  di perairan Ambalat di Laut Sulawesi.

Menurut Direktur Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan Deplu-RI, Arif Havas Oegroseno, di Jakarta, Kamis, Indonesia berharap Shell akan menarik diri dari konsensi yang diterimanya dari Petronas pada 16 Februari 2005 itu. "Kita lihat saja," kata Havas di ruang kerjanya, Gedung Deplu, Pejambon, ketika ditanya apakah Shell akan memenuhi keinginan Indonesia tersebut.

<>

Shell menerima konsensi dari Petronas bagi kepentingan eksplorasi hidrokarbon di Blok ND 6 dan ND 7 Laut Sulawesi di dalam Blok XYZ yang diklaim Malaysia sebagai wilayahnya.  Padahal, menurut Indonesia, Blok XYZ  yang disebut RI sebagai Blok Ambalat itu sebenarnya berada di wilayah maritim Indonesia.

Selain kepada Malaysia (Petronas), Deplu RI  pada Februari lalu telah menyampaikan protes atas konsensi yang diterima Shell. Dalam protes tersebut, disebutkan bahwa Shell telah mencampuri urusan dan hak yurisdiksi Indonesia, karena itu Deplu meminta Shell untuk tidak melakukan kegiatan di perairan Ambalat.  "Saat itu kami katakan kepada Shell bahwa  kami (Indonesia, red) akan melakukan langkah ’firm’ (keras) terhadap kegiatan apapun yang dilakukan Shell di perairan kita," ujar Havas.

Surat protes kepada Shell itu sendiri, menurut Havas, dilayangkan pada 21 Februari 2005 dan pihak Deplu-RI mendapat jawaban dari pihak perusahaan minyak raksasa itu pada awal Maret. "Mereka menjawab bahwa mereka tidak akan mencampuri urusan kita, dan mereka  memperhatikan secara serius keinginan pemerintah Indonesia,"  kata Havas,  yang juga ketua tim perunding RI dalam pertemuan dengan tim teknis Malaysia soal Ambalat di Bali pada 22-23 Maret lalu.

Havas belum menyebutkan sampai kapan tindak lanjut Shell akan ditunggu dan langkah-langkah apa yang akan ditempuh Pemerintah Indonesia jika sikap perusahaan tersebut tidak sejalan dengan keinginan Indonesia.

Ditempat terpisah sebelumnya anggota DPR-RI FKB, Idham Chalid menyerukan kepada pemerintah untuk memboikot produk Shell dan turunannya, karena perusahaan minyak milik Inggris dan Belanda ini di duga sebagai "biang kerok" terjadinya krisis antara Indonesia dengan Malaysia, melalui konsesi eksploitasi minyak di kawasan blok Ambalat oleh Petronas kepada Shell. "Ini untuk menjaga kedaulatan dan martabat kita sebagai bangsa Indonesia dan dalam posisi ini kita harus tegas," katanya kepada NU Online beberapa waktu lalu.

Pengelolaan  Bersama

Havas, sementara itu, menolak keras kemungkinan perundingan tentang batas maritim Indoensia-Malaysia di Laut Sulawesi --termasuk Ambalat-- akan berakhir dengan kesepakatan pengelolaan atau pembangunan bersama (’joint development/cooperation’) wilayah yang sedang menjadi masalah itu. "No way. Menlu (Hassan Wirajuda, red), sudah menyatakan tidak ada ’joint cooperation’," katanya.

Ia menegaskan, Indonesia berdasarkan hukum laut internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, memiliki posisi kuat untuk menunjukkan perairan Ambalat sebagai wilayah maritimnya.  Pembangunan bersama, ujarnya, biasanya dilakukan di dua macam wilayah, yaitu yang sudah ada penentuan garis batasnya atau tempat yang penentuan garis batasnya berada dapat tingkat kesulitan yang sangat tinggi.

Ia memberi contoh kasus Celah Timor yang dikelola secara bersama karena Indonesia dan Australia terantuk perbedaan yang tajam tentang prinsip-prinsip batas maritim. "Kalau yang ini, di Laut Sulawesi (pengelolaan bersama) tidak bisa diterapkan. Kita juga sudah lama berada di situ. Di daerah Ambalat, kita sudah melakukan kegiatan eksplorasi sejak lama," katanya.

Mengenai hasil perundingan dengan tim teknis Malaysia pada 22-23 Maret 2005, Havas mengatakan timnya melalui pertemuan tersebut sudah dapat mengetahui secara persis bagaimana Malaysia menarik garis batas maritim. "Kemarin-kemarin itu kan kita hanya meraba-raba. Sekarang kita tahu secara pasti," ungkapnya namun menolak menyebutkan bagaimana Malaysia melakukannya.(cih)