Warta

Program Pro-Rakyat Miskin Jangan Sampai Diselewengkan

NU Online  ·  Kamis, 6 Agustus 2009 | 00:02 WIB

Yogyakarta, NU Online
Program pro-rakyat miskin atau pro-poor yang dicanangkan pemerintah dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2010 jangan sampai diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan dalam program ini dinilai sangat biadab karena menyangkut hak fakir-miskin yang sebetulnya diwajibkan oleh seluruh agama.

Beberapa penyimpangan yang sering dilakukan oleh oknum tertentu pada level biroksasi adalah pembelian gabah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) yang telah dijanjikan, penyampaikan BLT (kini diganti PKH) yang waktunya disesuaikan dengan kepentingan politis, kualitas beras untuk rakyat miskin yang tidak layak, dan pupuk subsidi yang harganya melambung harganya dan menghilang, justru ketika dibutuhkan oleh RTM di musim tanam.<>

”Penyimpangan dalam program pro-poor ini bukanlah sekedar korupsi konvensional. Inilah korupsi akbar, mbah-mbahnya korupsi,” kata Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang juga Guru Besar di bidang pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr KH Mochammad Maksum, dihubungi NU Online di Yogyakarta, Selasa (4/8).

”Kenapa korupsi akbar, karena korupsi ini dilakukan terhadap hak fakir-miskin yang sebetulnya diwajibkan oleh seluruh agama di muka bumi untuk kita cintai dengan segala kasih-sayang. Tentu bukan dalam jumlah dan rupiah yang diakibatkan semata, tetapi sudah sampai dalam tataran hakekat, hak RTM (rakyat tani miskin dan rumah tangga miskin), dan lebih dari sekedar mendustakan agama,” katanya.

Dikatakannya, komitmen pro-poor selama ini selalu saja indah dalam landasan legal dan dalam perencanaan pembangunan dan anggaran. Sayangnya, tidak sedikit penyimpangan ditemukan di lapangan. Rencana pembangunan dan anggarannya tidak menunjukkan efektifitas dampak secara memadai karena tidak sedikit yang melenceng implementasinya.

”Kalau penyimpangan itu teknis adanya, bolehlah dianggap sebagai sekedar kesalahan implementatif. Akan btetapi kalau penyimpangan itu terjadi menahun dan berindikasi merosotnya hak-hak RTM, maka pantas dicurigai bahwa ada main-main kepentingan jangka pendek dalam urusan pelayanan RTM,” kata Maksum.

Menurutnya, penyimpangan itu bisa dikatagorikan sebagai tindak pidana korupsi karena mengurangi pelayanan minimal dan hak RTM. ”Nilai pelayanan itu sendiri menjadi terkorup oleh kelambanan, kualitas dan kuantitas pelayanan,” tambahnya. (nam)