Warta

Prof Maksum: Kekhusukan Ramadhan Diganggu Isu Impor Pangan

NU Online  ·  Kamis, 3 September 2009 | 12:01 WIB

Yogyakarta, NU Online
Akademisi pertanian dan pemerhati pangan terkejut oleh pemberitaan nasional tentang terperosoknya Indonesia dalam jebakan pangan impor yang menguras devisa sejumlah 5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50 triliun lebih devisa setiap tahun.

Demikian disampaikan guru besar pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Mohammad Maksum, dalam surat elektronik yang disampaikan kepada NU Online, Kamis (3/9).<>

“Setiap Ramadhan selalu saja dirasakan bahwa kekhusukan ibadah puasa Nahdliyyin (warga NU) diganggu oleh hentakan isu pangan nasional. Tidak berbeda dengan Ramadhan 1430 ini,” katanya.

Kesadaran akan adanya bahaya ini memang mencuat setiap kali memasuki bulan Ramadhan, ketika seluruh perhatian nasional dicurahkan untuk mencermati gelombang besar kenaikan harga pangan.

Soal impor yang menguras devisa itu, kata Maksum, pihaknya sebenarnya telah memberikan peringatan kepada pemerintah. Sayangnya peringatan tersebut tidak pernah memperoleh tanggapan memadai dari para pengambil keputusan dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu di Jakarta.

Kecelakaan mulai terjadi pemerintah memilih industri berbasis impor. Dalam hal ini, bukan hanya bahan bakunya yang diimpor, tetapi segalanya, termasuk teknologi, tenaga ahli, kapital, sampai kuli-kulinya. Semuanya harus impor.

Sektor industri yang digemari Orde Baru ini dilengkapi segala kemudahan oleh negara, mulai dari kemudahan fiskal, tata niaga, moneter, dan bahkan sampai kepada kemudahan perundang-undangan. “Inilah biangnya, ashbabul mushibah yang tidak kunjung padam dan menyebabkan terperosoknya perekonomian bangsa,” katanya

Menurut Ketua PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta ini, setelah sekian tahun reformasi berjalan, kebijakan industri berbasis impor ini tidak berubah.

“Tidak pernah dilakukan tinjauan ulang atas kiblat yang salah. Reformasi ekonomis tidak pernah menyentuh nasib RTM (rakyat tani miskin) dan usaha tani, kecuali semakin memanjakan industri. Ini sudah kelewat berlebihan dan tanpa ada tanda-tanda reorientasi kebijakan nasional yang mengarah kepada perekonomian berbasis sumberdaya dalam negeri,” katanya. (nam)