Warta

Privatisasi Sumberdaya Air Picu Kerusakan Ekologi

NU Online  ·  Senin, 18 Agustus 2008 | 22:55 WIB

Sukabumi, NU Online
Pemberlakuan Undang-undang (UU) No 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air memicu terjadinya degradasi lingkungan dan kerusakan ekologi. Pemberlakuan UU ini sangat membuka peluang terjadinya komersialisasi dan privatisasi sumberdaya air, sehingga pengelolaan salah satu sumber kehidupan itu lepas dari kontrol negara dan bias kepentingan publik.

Demikian disampaikan Ketua Program Studi Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Surjono Hadi Sutjahjo, MS di Sukabumi, Senin (18/8).<>

Menurut Surjono, pemberlakuan UU tersebut kurang produktif untuk kepentingan kelangsungan ekologi. Pasalnya dengan adanya privatisasi, sebuah perusahaan apalagi yang berbasis pada penanaman modal asing (PMA) menjadi terjebak dalam sistem kapitalisme yang cenderung hanya mengejar keuntungan dan mengabaikan aspek-aspek lain seperti aspek ekologi dan sosial.

”Dengan pemberlakuan UU ini, air yang ang seharusnya memiliki fungsi sosial dan seharusnya dikuasai dan dikelola bersama karena bersangkutan dengan hajat hidup orang banyak justru dikomersialisasikan dan diprivatisasi karena hanya dipandang sebagai komoditas yang memiliki potensi ekonomi tinggi,” tegas Surjono yang juga Pembina Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) IPB.

Dia lantas merujuk pada kerusakan ekologi yang terjadi di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, daerah yang menjadi tempat operasi dan eksplorasi 14 perusahaan air mineral dan suplemen baik multi nasional maupun nasional, sebagai akibat menguatnya arus kapitalisme dalam pengelolaan sumberdaya air.

Hal itu berdampak pada kerusakan ekologi kawasan Cidahu, yang ditunjukkan dengan kekeringan daerah setempat. Tak ayal hal itu membuat warga kesulitan mendatkan pasokan air baik untuk konsumsi rumah tangga, apalagi untuk kebutuhan irigasi sawah. Padahal Cidahu sebagai daerah resapan air yang memiliki potensi air bawah tanah luar biasa.

Hal senada diutarakan oleh Uwes, tokoh pemuda Cidahu yang aktif dalam kegiatan lingkungan dan konservasi alam. Menurutnya, saat ini kawasan Cidahu tengah mengalami ancaman bencana ancaman nyata berupa kerusakan ekologi. Ini terjadi akibat ketidakseimbangan antara eksplorasi air bawah tanah dengan rehabilitasi lingkungan.

”Saat ini kami sudah merasakan Cidahu mengalami kekeringan. Kualitas lingkungan mengalami segradasi luar biasa. Bahkan hutan-hutan pun banyak yang gundul. Pada saat bersamaan, kami tidak melihat adana upaya rehabilitasi lingkungan melalui penghijauan,” papar Uwes.

Keberadaan 14 perusahaan air mineral yang beroperasi di Cidahu, lanjut Uwes, kurang memberikan kontribusi nyata untuk rehabilitasi lingkungan. ”Kami pernah mengadakan gerakan penghijauan, dari 14 perusahaan air hanya Aqua yang peduli. Itupun bantuannya hanya berupa bibit pohon, tentu tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan akibat eksploitasi alam yang dilakukan,” tegasnya.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB Prof Clara M. Kusharto menimpali, kerusakan ekologi yang terjadi di Cidahu berdampak pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat. Maraknya kasus gizi buruk dan sering merebaknya berbagai penyakit kronis, antara lain dipengaruhi oleh interaksi masarakat dengan lingkungan sekitar yang rusak.

”Saya lihat di Cidahu terjadi paradoks. Keberadaan perusahaan-perusahaan besar yang begerak di bidang eksplorasi sumbedaya air, kurang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Yang terjadi justeru sebaliknya, warga harus menanggung berbagai dampak negatif seperti kekeringan dan degradasi lingkungan yang berakibat oada penurunan kualitas kesehatan,” ujarnya. (hir)