Perubahan Sistem, PKB akan Sulit Kembalikan Kejayaan
NU Online · Rabu, 9 Desember 2009 | 06:21 WIB
Pemilu 2009 telah usai dan para pemenang telah ditetapkan, tetapi menjelang tahun 2010 ini banyak hal yang bisa direfleksikan, termasuk bagaimana nasib partai berbasis Islam di masa mendatang.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Turmudi, berpendapat PKB dan partai berbasis Islam lainnya akan sulit untuk mengembalikan kejayaannya seperti di masa lalu karena adanya perubahan dari sistem memilih partai menjadi sistem suara terbanyak yang memilih orang.<>
“Kecenderungan umat Islam adalah ideologis, ketika dilakukan personifikasi, maka dampaknya akan berkurang. Ini mengalihkan identitas ideologi partai ke individu,” katanya di PBNU, Rabu (9/12).
Dijelaskannya, terdapat dua faktor penting yang mempengaruhi perilaku para pemilih yang berorientasi Islam dalam menentukan pilihannya, asas partai dan opini dari para pemimpin.
Dua hal ini, tampaknya sudah mulai berkurang dampaknya di PKB. Partai yang didirikan oleh PBNU saat ini sudah menyatakan diri sebagai partai terbuka, bukan lagi partai Islam sehingga upaya untuk menarik massa atas nama Islam tidak akan efektif, apalagi isu-isu keislaman saat ini juga kurang mendapat perhatian dari PKB.
“Kiai sebagai vote gatter juga sudah susah menyebarluaskan pengaruhnya karena identitas yang diusung bukan lagi ideologi partai, tetapi individu tertentu yang mungkin tidak selalu cocok dengan pemilih,” terangnya.
Jika dirunut pada pemilu-pemilu sebelumnya, komunitas NU sebenarnya sangat kohesif, Pada pemilu 1955 partai NU mendapatkan 18.4 persen, selanjutnya pada pemilu 1971, saat NU mendapat tekanan berat dari rezim Orde Baru, perolehan suaranya malah meningkat, meskipun kecil menjadi 18.7 persen.
Tahun 1999, PKB sebagai representasi NU mendapatkan suara 12.7 persen, dan jika digabung dengan PPP, yang mana sebagian warga NU tetap memilih partai itu, totalnya sekitar 20 persen, angka yang tak jauh dari pemilu 1955.
Agar tetap bisa bertahan, PKB menurutnya harus melakukan banyak perubahan, diantaranya adalah memilih caleg yang berkualitas yang memiliki keterpilihan tinggi dan meminimalisir konflik. “Warga NU potensinya masih luar biasa besar, kalau konsentrasi menggarap ini saja hasilnya sudah bagus,” tandasnya.
Endang yang juga Sekjen PBNU ini berpendapat, perubahan struktural demokrasi di Indonesia saat ini sudah cukup baik dengan adanya kebebasan mendirikan partai politik, lembaga pemantau pemilu, kebebasan memilih dan lainnya, tetapi masyarakat belum siap karena perubahan kultural selalu lebih lambat dari struktural. Demokrasi yang berkualitas masih menjadi harapan.
“Akhirnya, yang terjadi saat ini adalah adanya money politik yang merupakan bentuk demoralisasi politik. Masyarakat belum siap karena mereka masih miskin dan pendidikannya rendah,” tuturnya. (mkf)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Larangan Pamer dan Bangga dengan Dosa-dosa
2
Khutbah Jumat: Membumikan Akhlak Nabi di Tengah Krisis Keteladanan
3
Khutbah Jumat: Sesuatu yang Berlebihan itu Tidak Baik, Termasuk Polusi Suara
4
Khutbah Jumat: Meneguhkan Qanaah dan Syukur di Tengah Arus Hedonisme
5
Trump Turunkan Tarif Impor Jadi 19 Persen, Ini Syarat yang Harus Indonesia Penuhi
6
Sejumlah SD Negeri Sepi Pendaftar, Ini Respons Mendikdasmen
Terkini
Lihat Semua