Jakarta, NU Online
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai organisasi gerakan perlu menafsir ulang gerakannya dalam konstalasi politik nasional. "Karena situasi dan kondisi sosial, politik secara keseluruhan yang terus berubah, tidak ada pilihan PMII harus merubah paradigmanya," ungkap mantan Sekretaris Jenderal PB PMII, Akhmad Gojali Harahap, kepada NU Online, Rabu (18/5) terkait posisi yang di hadapi PMII di tengah situasi yang semakin kompleks.
Pilihan sikap ini, kata mahasiswa S-2 politik UI ini, karena saat ini gerakan mahasiswa secara umum kehilangan simbol. Dulu, simbol seperti bendera, bahasa bisa berperan efektif untuk menyatukan gerakan demi menggulingkan kekuasaan yang otoriter. Saat ini, semua organisasi kemahasiswaan sibuk dengan persoalan yang dihadapinya dan sudah tidak bisa lagi dipersatukan oleh simbol yang pada masa lalu mempunyai peran yang strategis. "Masing-masing organisasi dengan segala kepentingan organisasi yang dipikulnya sudah sulit untuk disatukan. Apalagi, munculnya beberapa oknum bayaran yang mengatasnamakan mahasiswa untuk target-target politik tertentu, ini menjadi tantangan tersendiri," ujar Gojali.
<>"Kenyataan itu harus diterima, baik oleh kalangan PMII, ataupun organisasi lainnya. Tanpa menyadari hal tersebut, gerakan mahasiswa akan tetap di jalan, stagnan, dan tidak bisa melakukan apa-apa bagi bangsa dan negara Indonesia yang ditimpa oleh pelbagai persoalan yang sangat kompleks," kata mantan Sekjen PMII jaman Nusron Wahid ini.
Untuk itu, lanjut kader PMII Medan, yang paling sederhana yang harus dilakukan PMII adalah perlunya menafsir kembali makna gerakan. Banyak kader PMII yang masih terjebak dengan istilah ini, seolah-olah kata gerakan itu hanya sekadar demonstrasi, turun jalan dan teriak-teriak. Padahal, kata Gojali, makna pergerakan itu meliputi semua aspek, yang terkait dengan demokrasi dan pembebasan. Jadi, gerakan mahasiswa tidak mesti dimaknai dengan aksi turun jalan.
"Jika aksi turun jalan sudah tidak lagi mampu menyedot simpati masyarakat, apakah PMII akan tetap memaksa dengan aksi turun jalan. Bagaimanapun, sebuah gerakan mahasiswa tidak mempunyai makna apa-apa tanpa ada dukungan dari masyarakat banyak yang meliputi pemerintah, rakyat dan lain sebagainya. Disinilah pentingnya reparadigmatik PMII," tuturnya.
Lantas bagaimana solusinya ? Gojali mengatakan, PMII perlu membuka ruang artikulasi gerakan dan gagasan yang seluas-luasnya bagi kader-kadernya agar terjadi transformasi yang baik antara kader PMII yang ada di pusat dan daerah, selain itu PMII perlu memahami kecenderungan kader-kadernya dalam berbagai bidang. "Selama ini, hampir semua organisasi kemahasiswaan memaksa kadernya untuk mengikuti segala hal yang telah ditentukan oleh organisasinya. Misalnya, kader PMII sebagai organisasi pergerakan tidak boleh tidak harus –tanpa kecuali— ikut melakukan advokasi terhadap masyarakat, karena tidak semua kader memiliki kecenderungan yang sama," tandasnya.
Selain itu, yang terutama dalam konteks nasional, PMII, tidak boleh tidak, harus tetap kritis terhadap pemerintah apabila berlaku otoriter dan militeristik. Sikap kritis yang dibangun oleh PMII ini akan menjadikan PMII semakin mampu meraih bargaining power di tingkat nasional. Selama ini, perhatian publik terhadap PMII sangat sedikit. Selama ini yang lebih tampak bukan PMII secara organisatoris, tetapi masing-masing individu yang ada di dalamnya, sehingga PMII seakan tenggelam dan tertutupi karena kadernya. "Ini PR yang harus dituntaskan menjelang Kongres PMII, agar PMII memiliki ruang dialektika dengan masa depan Indonesia," pungkasnya mengakhiri pembicaraan. (cih)
Terpopuler
1
Isi Akhir dan Awal Tahun Baru Hijriah dengan Baca Doa Ini
2
3 Jenis Puasa Sunnah di Bulan Muharram
3
Istikmal, LF PBNU Umumkan Tahun Baru 1447 Hijriah Jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025
4
Niat Puasa Muharram Lengkap dengan Terjemahnya
5
Data Awal Muharram 1447 H, Hilal Masih di Bawah Ufuk
6
Khutbah Jumat: Meraih Fokus Hidup Melalui Shalat yang Khusyuk
Terkini
Lihat Semua