Warta

Pengamat: NU Berdampak Politik Tanpa Menjadi Partai Politik

NU Online  ·  Jumat, 19 Maret 2010 | 14:06 WIB

Jakarta, NU Online
Dalam catatan sejarah Nahdlatul Ulama (NU) pernah unggul sebagai partai politik di Indonesia. Namun keberadaan NU di kanca perpolitikan dinilai akan lebih berdampak jika NU tetap konsisten mengambil jarak dengan kekuasaan dan politik kepartaian.

Politik NU tidak partikularistik, tidak mengambil keputusan untuk kepentingan pragmatis-jangka pendek, melainkan untuk kepentingan bangsa Indonesia.<>

Demikian diungkapkan pengamat politik dari Universitas Paramadina Jakarta, Dr Yudi Latif dalam launching buku “Ahlussunnah wal-Jamaah-Telaah historis dan kontekstual” karya Ketua FPKB DPR Marwan Ja’far di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Jumat (19/3).

“NU dalam sejarahnya pernah menjadi parpol. Tapi, NU dengan basis pesantren, keberadaannya jauh lebih baik dan bertahan sebagai penjaga kebangsaan. Sebagai kekuatan kultural sebagaimana dilakukan oleh mantan Ketua Umum PBNU alm KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) di era rezim Soeharto, justru kepeduliannya terhadap politik kekuasaan lebih dahsyat sampai Gus Dur menjadi Presiden, 1999,” tandas Yudi Latif.

Marwan Ja’far dalam kesempatan itu mengakui jika buku yang ditulisnya masih jauh dari sempurna. Menurutnya, penerbitan buku ini merupakan keterpanggilan FPKB DPR untuk terus melakukan gerakan Ahlussunnah wal-Jamaah atau Aswaja.

Ia menambahkan, melalui Muktamar Makassar ini FPKB mendesak NU untuk tidak dibentur-benturkan lagi dengan partai politik. “Jadi, lima tahun ke depan NU diharapkan berhenti melakukan gerakan politik praktis seperti dalam pemilihan gubernur, bupati/walikota, bahkan pilpres,” ujar Ketua FPKB DPR ini. (nam)