Warta

Pendidikan Harus Memusat pada Siswa, bukan Guru

NU Online  ·  Ahad, 21 Maret 2004 | 14:46 WIB

Jakarta, NU Online
Proses belajar mengajar harus diarahkan pada proses yang memberdayakan para siswa dengan pendekatan yang memusat pada anak didik dan bukan memusat pada guru.

Untuk itu Model CBSA, Quantum Teaching, Problem Base Learning, Cooperative Learning, Interactive Learning dan semacamnya harus menggantikan model belajah hafalan yang bertumpu pada guru.

<>

Pernyataan tersebut tersebut diungkapkan oleh Prof. Dr. Abuddin Nata, MA dalam pidato pengukuhan guru besar dalam bidang sejarah dan filsafat pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (20/03).

Dari sudut pandang sejarah, pembantu rektor II bidang Administrasi Umum UIN tersebut menjelaskan “Masa awal, pendidikan Islam menghadapi kuatnya pengaruh agama Hindu yang datang sebelumnya, serta pengaruh agama lokal (animisme, dinamisme dan politeisme) hal ini dihadapi dengan menggunakan saluran kesenian, politik, perdagangan, perkawinan, dan teosofi dengan pendekatan yang bersifat akomodatif.”

Selanjutnya pada zaman Belanda, tantangannya berupa Staatsblad No 550 yang disebut ordonansi guru agama yang berusaha membatasi perkembangan pendidikan Islam melalui pemberian persyaratan yang sulit sebagai guru agama Islam dan juga menghapus peran penting Islam di Indonesia.

Tantangan itu dihadapi dengan mematangkan sikap mental keagamaan melalui pendidikan agama pesantren dan kedua umat Islam memodernisasi lembaga pendidikan tradisionalnye menjadi lembaga-lembaga modern dalam bentuk seperti madrasah dan sekolah.

Santri ponpes Jauharotun Naqiyah Serang yang dijalaninya berbarengan dengan sekolah PGA tersebut menjelaskan bahwa pada zaman Jepang, mereka bersikap lunak terhadap umat Islam untuk meraih simpati mereka. Hal ini dimanfaatkan dengan membangun lembaga pendidikan Islam secara lebih terbuka. Selain itu Jepang telah memberikan kesadaran pada elit politik Islam untuk mengambil peran dalam menentukan masa depan bangsa Indonesia.

Jepang juga telah memperkenalkan kepada umat Islam tentang organisasi dan peralatan militer yang modern melalui pembentukan Hisbullah dan Tentara Pembela Tanah Air (PETA).

Zaman orde lama, kebijakan secara politik kurang memberikan perluang kepada umat Islam sebagai akibat dari sikap dan pendekatan umat Islam dalam melihat permasalahan perpolitikan yang kurang tepat. 

Namun demikian pada zaman soekarno, telah terjadi modernisasi madrasah dimana terdapat pengakuan bahwa sekolah di madrasan telah dianggap memenuhi kewajiban belajar.

Zaman orde baru, tantangan juga bersifat politis dan modernisasi. Namun demikian pada enam belas tahun terahir orde baru, terdapat kemesraan pemerintah dengan umat Islam seperti UU sistem pendidikan nasional, MTQ, Festival Istiqlal, UU Peradilan Agama, dll.

Penulis 15 buku tersebut menjelaskan bahwa ke depan, pendidikan Islam harus mampu menghadapi tantangan UU otonomisasi daerah yang menuntut kemandirian, kemampuan mengambil inisiatif dan siap bersaing secara kreatif dan produktif.

Selain itu peran pengajar tidak lagi befungsi segbagai kyai yang didatangi santri, atau guru yang mendatangi siswa, malainkan sebagai mitra yang interaktif. “Untuk itu aspek manajemen pendidikan pun harus dibenahi. Paling tidak saat ini terdapat tiga pilihan, yaitu Total Quality Management (TQM), Benchmarking Management dan School Base Management.”(mkf)