Warta

Pendakwah Islam Periode Awal, Orang Arab yang Tak Mengarab di Indonesia

NU Online  ·  Rabu, 28 Mei 2008 | 07:23 WIB

Jakarta, NU Online
Islam yang berkembang di Indonesia merupakan hasil dari dakwah para ulama yang berasal dari kawasan Hadramaud, Yaman Selatan, India dan sebagian muslim dari China. Salah satu kunci sukses mengislamkan nusantara adalah kemampuan mereka untuk melakukan akulturasi.

“Mereka adalah orang Arab yang tak berusaha “mengarab” di Indonesia sehingga berhasil dalam berdakwah. Ini beda dengan orang sekarang yang baru beberapa tahun tinggal di Arab sudah kearab-araban,” kata KH Hasyim Muzadi dalam Seminar Internasional Budaya Islam-Tiongkok yang diselenggarakan oleh PBNU dan Indonesian Marketing Association di Jakarta, Rabu (28/5).<>

Kiai Hasyim menjelaskan, Indonesia pada waktu itu bukanlah sesuatu yang kosong karena sudah ada agama yang datang sebelumnya. Dakwah dilakukan dengan menyerap nilai-nilai yang baik yang ada pada agama sebelumnya dan perbaikan nilai agar bisa disesuaikan dengan prinsip Islam.

“Gotong royong dan gugur gunung sudah ada sejak dahulu untuk membangun rumah warga dan kepentingan lainnya. Aktifitas ini sudah sejalan dengan nilai Islam, tinggal dikembangkan,” katanya.

Sementara itu, nilai yang masih bisa diperbaiki adalah tradisi menghormati leluhur yang sudah dijalankan oleh penduduk nusantara waktu itu. “Dari yang sebelumnya sajen dikirim ke sawah, kita masuki nilai-nilai tauhid, jadilah tahlilan, tapi intinya tetap menghormati leluhur,” paparnya.

Untuk tradisi yang tak bisa dibenarkan dan tak bisa dirubah seperti tradisi membawa calon istri lebih dahulu sebelum menikah Islam tidak mengkompromikannya. Namun, dakwah dan upaya pelurusan dilakukan dengan cara yang santun.

“Kita tahu yang benar dan salah, tapi yang lebih penting adalah bagaimana menyampaikan pesannya,” tandasnya.

Upaya berdakwah dan menyampaikan kebenaran dengan baik inilah yang saat ini kurang dimiliki oleh sebagian umat Islam. Mereka sedikit-sedikit mengharamkan atau menyalahkan fihak lain yang tidak sependapat yang akhirnya malah tidak menimbulkan simpati.

Upaya dakwah yang simpatik dan penuh toleransi juga dilakukan oleh Sunan Kudus atau Jakfar Shodik. Mereka tetap menghargai ajaran umat Hindu dengan tidak menyembelih sapi, yang dianggap binatang suci, pada waktu Qurban, tetapi diganti dengan menyembelih kerbau. Sampai sekarang, daerah tersebut sangat terkenal dengan sate kerbau atau masakan-masakan dengan bahan dari daging kerbau. (mkf)