Warta

Pemerintah Diminta Tak Main-Main Soal Kebijakan Pangan

NU Online  ·  Ahad, 6 Februari 2011 | 10:01 WIB

Jakarta, NU Online
Pemerintah Indonesia diminta tidak main-main dalam membuat kebijakan pangan mengingat sektor ini sangat strategis, apalagi ditengah-tengah terjadinya perubahan iklim yang membuat harga komoditas pangan menjadi mahal.

“Berdasarkan banyak kajian, harga pangan akan terus tinggi karena adanya perubahan iklim. Jadi jangan main-main dengan pangan,”  kata pengamat pertanian Chudori dalam diskusi Ketahanan Pangan di kantor DPP PKB, Ahad (6/2).<>

Ia mencontohkan, negera-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang memberi proteksi yang kuat kepada para petaninya karena mereka menyadari nilai strategis yang dimilikinya.

Di Amerika Serikat, jumlah petani hanya 2 persen, tetapi mereka menguasai lahan 100-200 hektar per orang. Di negara maju yang tergabung dalam OECD, pendapatan petani sebesar 78 persen diperoleh dari subsidi.

“Pangan bukan soal kebutuhan perut saja, tetapi juga masuk dalam ranah politik,” tandasnya.

Situasi sangat berbeda dengan di Indonesia yang memiliki kebijakan pangan sangat liberal. 83 persen komoditas impor pangan memiliki tariff masuk 0 persen. Terakhir, pemerintah juga membebaskan 51 jenis komoditas pangan menjadi 0 persen.

“Tujuannya kan memang agar produk pangan tersebut bisa diakses oleh banyak orang dan mencegah inflasi. Tetapi kan tidak otomatis karena harus ada mekanisme stabilitator harga, yang itu hanya ada di komoditas beras,” jelasnya.

Disisi lain, kebijakan tersebut membuat produsen lokal menjadi tak terkutik karena kalah bersaing dengan produk impor, yang disubsidi pemerintah setempat.

Untuk meningkatkan ketahanan pangan, salah satu kebijakan yang harus diambil adalah ekstensifikasi lahan pertanian karena dari sisi intensifikasi, produktifitas tanaman padi di Indonesia sudah sangat tinggi, nomor dua di dunia setelah China.

Mengenai upaya yang dilakukan menghasilkan tanaman yang mampu mengatasi dampak perubahan iklim, ia menjelaskan, pemerintah sebenarnya sudah mengintroduksi sejumlah varietas baru yang tahan kering dan basah, tetapi sejauh mana sosialisasinya di lapangan masih menjadi pertanyaan.

“40 persen petani masih menanam padi IR 164 yang diintroduksi tahun 1986 yang sudah tidak cocok dengan situasi dan kondisi sekarang,” terangnya.

Ia juga berharap pemerintah mambuat sekolah lapanga perubahan iklim untuk membekali para petani mengatasi dampak perubahan iklim yang merugikan produksi tanamannya.

Sementara itu anggota Komisi IV DPR RI dari FPKB Anna Muawanah menjelaskan, DPR kini tengah membahas UU Ketahanan Pangan, yang salah satu pasalnya, fihak yang menghambat terjadinya ketahanan pangan dianggap kriminal.

Ditambahkannya, upaya perlindungan kepada petani juga akan dibuat melalui  UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

Salah satu kendala para petani adalah kesulitan kredit karena dianggap non bankable. Karena itu ia mengusulkan adanya Bank Pertanian yang nantinya mendapat perlakukan khusus (lex speciali) dari Bank Indonesia sebagai regulator bank di Indonesia karena tidak bisa disamakan dengan industri bank pada umumnya. (mkf)