Warta

PBNU: Perlu Modifikasi Aturan Perundangan Terkait Aliran Sesat

Rab, 31 Oktober 2007 | 10:22 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengatakan, perlu ada modifikasi aturan perundangan terkait aliran-aliran sesat di Indonesia. Pasalnya, ia menilai, selama ini, pemerintah belum punya aturan yang mampu mengatur secara tegas bila muncul aliran sesat, seperti yang terjadi belakangan ini.

“Untuk keselamatan bangsa ke depan, maka perlu ada modifikasi aturan perundangan terkait aliran sesat tersebut,” ujar Hasyim kepada wartawan usai penandatanganan nota kesepahaman kerja sama antara PBNU dengan British Council di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (31/10)<>

Menurut Presiden World Conference on Religions for Peace itu, sejak reformasi bergulir, aturan perundangan yang berkaitan dengan aliran sesat itu menjadi longgar. Hal itu jauh berbeda dengan era sebelumnya, yakni era Orde Baru yang sangat ketat.

“Kalau dulu ada preventive action; kalau dinilai berpotensi membuat kekacauan, ditangkap dulu sebelum terjadi sesuatu. Nah, kalau sekarang tidak bisa. Tapi aturannya terlalu longgar,” ujar Hasyim yang juga Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars.

Tidak adanya hukum yang cukup tegas tentang aliran-aliran yang menyimpang dari ajaran agama itu, ujarnya, membuat aparat berwenang kehilangan pegangan. Akhirnya, yang terjadi, aparat pun kerap tampak ragu-ragu untuk menentukan sikap bila muncul sebuah aliran yang berpotensi meresahkan masyarakat.

Persoalan lain, terangnya, masyarakat tidak cukup bisa membedakan antara: persoalan perbedaan penafsiran terhadap teks agama (khilafiyah), kreasi umat terhadap ajaran agama (bid’ah) dan sebuah aliran yang tergolong menyimpang atau menyesatkan.

“Seperti halnya orang yang mengaku sebagai nabi. Itu bukan hanya sesat, tetapi juga merusak dan menghancurkan agama. Padahal, sudah tegas-tegas dijelaskan dalam Al-Quran bahwa tidak ada nabi lagi setelah Muhammad SAW,” Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur, itu.

Fenomena aliran sesat, menurutnya, juga bukanlah persoalan hak asasi manusia (HAM)—sebagaimana dikampanyekan sebagian kalangan. Ia mengatakan, “Mengaku nabi itu bukan hak asasi manusia, tapi hak ketuhanan. Harus dibedakan antara hak asasi dan hak ketuhanan.”

Hak asasi, tambahnya, tidaklah bebas nilai. Hak tersebut, menurutnya, tetaplah harus dalam bingkai norma, etika dan agama. (rif)