Warta

Hasyim: ‘Jibril’ Keluar, ‘Nabi’ Masuk Penjara

Rab, 31 Oktober 2007 | 09:33 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengaku merasa aneh atas fenomena munculnya aliran sesat yang marak belakangan. Terutama menyusul heboh aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang kemudian diikuti penangkapan terhadap pemimpinnya yang mengaku sebagai rasul, Ahmad Moshaddeq, pada Senin (29/10) malam.

“Ini ‘jibril’-nya (Pemimpin komunitas Eden: Lia Eden, Red) keluar, kok ‘nabi’-nya (Ahmad Moshaddeq, Red) masuk penjara,” ujar Hasyim kepada wartawan usai penandatanganan nota kesepahaman kerja sama antara PBNU dengan British Council di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (31/10)<>

Seperti diberitakan, Lia Eden, Pemimpin komunitas Eden itu, keluar dari hotel prodeo sekitar pukul 08.00 WIB, Selasa (30/10) kemarin. Mengenakan jubah putih dan tongkat kebesarannya serta dijemput 10 pengikutnya, Lia meninggalkan Rumah Tahan Pondok Bambu setelah mendekam selama 2 tahun.

Lia Eden divonis 2 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Juni 2006 karena terbukti melakukan penodaan agama dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan.

Sementara, ‘Rasul’ Ahmad Moshaddeq menyerahkan diri bersama 6 pengikutnya ke Polda Metro Jaya. Moshaddeq menyerahkan diri karena mengetahui dicari petugas kepolisian dan mengetahuinya dari media.

Hasyim mencatat, fenomena aliran yang kerap menyelewengkan ajaran agama itu terjadi dalam dua tahun terakhir. “Mulai dari ajaran salat dua bahasa, pelecehan terhadap Al-Quran, ajaran salat tanpa busana, orang mengaku sebagai malaikat jibril, dan terakhir, ada orang mengaku nabi,” terangnya.

Hal yang membuat ia mengaku semakin heran adalah, hingga saat ini, pemerintah belum memiliki aturan perundangan yang mengatur tentang aliran sesat tersebut. Padahal, katanya, Indonesia sudah dua kali mengalami hal yang serupa. “Seharusnya kita sudah punya cara efektif untuk mengatasinya,” pungkasnya.

Fenomena maraknya aliran sesat tersebut, lanjut Presiden Worl Conference on Religions for Peace itu, mengingatkan akan periode pertama munculnya Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia pada 1964 hingga awal 1965. (rif)