Warta

PBNU: Karakter Bangsa Kini Ditentukan oleh Media

NU Online  ·  Rabu, 27 Januari 2010 | 11:02 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menyatakan media massa kini memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap kondisi masyarakat. Apa yang ditampilkan oleh media telah membentuk karakter bangsa, menyaingi peran pendidikan di sekolah atau peranan ajaran agama.

Pernyataan ini disampaikan dalam acara Menciptakan Tayangan Televisi yang Beretika dan Edukatif yang diselenggarakan oleh panitia muktmar ke-32 NU sebagai rangkaian kegiatan pra muktamar, Rabu (27/1) di Gedung PBNU.<>

Hasyim mengemukakan, saat ini telah banyak keluhan yang disampaikan oleh masyarakat kelompok agama, budaya, dan para pendidik terkait dengan masalah media. Kelompok tersebut memandang dirinya tidak bebas nilai sementara medianya sendiri menganggap apa yang ditayangkan bebas nilai.

“Apakah media relevan untuk kepentingan bangsa atau hanya untuk kepentingan media sendiri,” tanyanya.

Tayangan yang cukup meresahkan masyarakat diantaranya adalah infotainment, yang banyak membongkar urusan keluarga, pornografi dan pornoaksi. Hal ini terutama akan berdampak terutama pada kalangan remaja yang belum memiliki jati diri yang kokoh. PBNU dalam munas alim ulama di Surabaya tahun 2006 telah menyatakan tayangan infotainment yang berisi ghibah adalah haram.

Sejauh ini sudah banyak aturan perundangan yang mengatur masalah penyiaran, tetapi masih sangat banyak pelanggaran yang dilakukan oleh industri media. “Mengapa aturan ini tidak jalan, apa ada kekuatan lain yang menghadang?” imbuhnya.

Dikatakannya, PBNU menghimbau kepada lembaga penyiaran untuk menghentikan praktek eksploitasi dan proses komodifikasi atau menjadikan semua hal komoditas menguntungkan, yang berlebihan terhadap sisi buruk masyarakat misalnya konflik rumah tangga, masalah pribadi, kemiskinan, kebodohan, pergaulan bebas, henodins, hegemoni patriakhis, seks bebas, ketergantungan pada hal-hal mistis dan sebagainya sebagai siaran program.

Hasyim menegaskan, PBNU sama sekati tidak sepakat dengan dalih bahwa media sebatas melayani keinginan masyarakat yang menyukai tayangan-tayangan semacam itu.

“Dalih itu salah dan tidak bisa dijadikan dasar pijakan karena pada dasarnya fungsi pelayanan media bagi publik adalah pemberi informasi, sarana pendidikan, wahana hiburan alat kontrol dan perekat sosial,” katanya.

Karena itu, PBNU memandang perlunya tindakan kongkrit dari berbagai fihak yang berwenang, khususnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers dan Departemen Komunikasi dan Informasi untuk mengambil langkah yang tegas dan proseduran untuk memberikan peringatan dan tindakan seperlunya agar tayangan televisi tidak menampilkan tayangan yang “berbahaya” bagi publik.

Ia juga menyatakan, PBNU bekerjasama dengan fihak terkait akan terus melakukan pembantauan dan monitoring terhadap perilaku penyiaran televisi di Indonesia sebagai bentuk amar makruf nahyi munkar serta untuk melindungi kepentingan publik serta menyadarkan masyarakat dihadapan media dan sekaligus mendorong terwujudnya tayangan televisi yang bermartabat.

Sementara itu Effendy Choirie, anggota komisi I DPR RI yang didalamnya termasuk membidangi menegaskan, fatwa PBNU yang menyatakan infotaiment yang ghibah adalah haram sudah tepat. Televisi menggunakan frekuensi publik yang merupakan kekayaan bangsa yang terbatas sehingga jangan disia-siakan untuk menyiarkan hal yang tak bermutu dan tak mencerdaskan.

“Ini merupakan kekayaan negara yang terbatas sehingga harus digunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya,” terangnya.

Ia merekomendasikan agar Muktamar NU kali ini menghasilkan masukan bahwa isi penyiaran harus harus memberikan advokasi, mengkritisi dan mengarahkan isi siaran. “KPI sudah waktunya menggandeng ormas-ormas yag lain dan sudah mulai bergerak secara resmi,” tandasnya.

Ketua Persekutuan Gereja-Geraja Indonesia Pendeta Andreas A Yewangoe berpendapat, TV bisa memberi berkah karena memberikan informasi dan berita, tetapi disisi lain, juga bisa menjadi kutukan karena banyak meteri siarannya yang bersikan hal yang tak penting dan tak bermutu.

Terkait dengan infotainment dan sinetron, ia sependapat dengan PBNU bahwa hal ini sangat berbahaya karena ditonton oleh seluruh masyarakat luas. Beberapa kritiknya terhadap materi TV diantarnya penggunaan bahasa yang tidak baik, penonjolan seks, gosip yang tidak jelas mana yang publik dan mana yang privat, kekerasan mental seperti sikap kepada guru yang tidak sopan, ekspoitasi kemiskinan dan mengajarkan budaya instant.

“Siaran-siaran TV harus berwibawa dan elegan, mungkin dengan memperbanyak siaran yang bersifat edukatif,” tandasnya.

Leo Batubara, wakil ketua Dewan Pers dalam kesempatan tersebut mengeluhkan lemahnya peran organisasinya karena kurang mendapat dukungan dari pemerintah, padahal apa yang ditangani lembaganya juga sangat penting bagi kehidupan bangsa. Ia membandingkan dengan KPK yang memiliki ratusan staff untuk mendukung langkah-langkah yang KPK.

Untuk memberi alternatif tontonan yang baik bagi masyarakat, Leo mengusulkan penguatan TV publik dengan kandungan yang mendidik dan mencerdaskan.

Hal senada juga disampaikan oleh Amar Ahmad dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang saat ini hanya didukung oleh 30 staff untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh siaran TV selama 24 jam, apalagi saat ini semakin banyak bermunculan TV lokal. “Karena itu, kami sangat memerlukan gerakan, aduan dan kritikan dari masyarakat karena frekwensi milik masyarakat,” paparnya.

KPI juga menghadapi masalah ketika akan menghentikan tayangan karena ada lembaga lain yang memiliki kewenangan seperti LSF. Fihak TV juga bisa berkilah dengan mengganti judul siaran seperti tayangan Empat Mata menjadi Bukan Empat Mata.

Tayangan TV kesuksesannya diukur oleh masyarakat melalui lembaga rating sehingga bisa saja KPI berhadapan sendiri dengan masyarakat. Karena itu, untuk mengawal moralitas bangsa, ia menegaskan, tak bisa berharap dengan satu atau dua lembaga saja.

Dirjen Sarana Komunikasi dan Disseminasi Informasi Depkominfo, Bambang Subiyantoro menyatakan dalam industri media saat ini, berlaku hukum ekonomi dengan motif untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya. Sayangnya, KPI belum memiliki lembaga monitoring yang kuat untuk melaksanakan tugas itu. UU juga kurang mendukung pelaksanaan tugas KPI secara maksimal.

Persoalan lain yang kini menjadi keprihatinanya adalah, tayangan TV berlangganan di daerah terpencil, seperti di daerah perbatasan yang seringkali menampilkan tayangan yang tak layak untuk dikonsumsi masyarakat seperti film porno. (mkf)