Warta

PBNU: Dakwah Kultural Hasilnya Nyata

NU Online  ·  Selasa, 8 Februari 2011 | 05:27 WIB

Jakarta, NU Online
Dakwah kultural yang dilakukan dalam periode awal masuknya Islam di Indonesia terbukti nyata hasilnya berupa dipeluknya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia tanpa disadari terjadinya proses berislam yang terjadi secara perlahan-lahan.

“Hasilnya ya seperti sekarang ini, kita-kita disini sudah berislam tanpa kita tahu bagaimana kakek-kakek kita dahulu berprosesnya,” kata Sekjen PBNU Marsyudi Syuhud dalam Dialog Penguatan Kerukunan Ummat Beragama yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama dan The Sahabuddin Institute di Jakarta, Selasa (8/2).<>

Motode ini tentu berbeda sekali dengan cara dakwah Islam “baru” yang sedikit-sedikit berteriak “Allahu Akbar”, sehingga malah memberi persepsi buruk terhadap kalimat takbir tersebut, bahkan terhadap agama Islam sendiri. Para pendahulu menggunakan metode seni, yang disukai oleh masyarakat, yang akhirnya tanpa terasa mereka memeluk Islam.

Ditambahkannya, pluralitas di Indonesia merupakan sejarah lama yang terus dihargai sampai sekarang dengan berbagai keragaman dalam bentuk agama, budaya, bahasa dan lainnya. Upaya sekelompok orang untuk memaksakan nilainya dianggap oleh Marsyudi sebagai sesuatu yang tidak pas.

“Zaman kemerdekaan, semua bersepakat nilai-nilai agamanya saja yang menjadi dasar dalam bentuk Pancasila. Tak ada satu pun nilai-nilai Pancasila yang bertentangan dengan Islam” katanya.

Penghargaan Islam terhadap pluralitas terdapat dalam sebuah ayat Al-Qur’an, yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan berbeda-beda dalam jenis kelamin, kesukuan dan perbedaan lainnya agar saling mengenal dan memahami.

Rasulullah juga terbukti sangat menghargai agama lain yang tertuang dalam Piagam Madinah, yang menghargai dan menghormati suku dan agama lain, baik Yahudi, Nasrani atau Majusi. Dalam Piagam Madinah, umat dibagi menjadi 9 komunitas, satu komunitas muhajirin dan delapan lainnya komunitas lokal. Mereka yang setia kepada konstitusi harus dilindungi dan antara komunitas yang satu dengan yang lain dilarang berperang.

“Musuh bersamanya adalah mereka yang melanggar konstitusi,” tegasnya.

Terjadinya konflik dan kekerasan yang seringkali timbul merupakan akibat dari tidak adanya saling mengenal dan memahami antara satu kelompok dan kelompok lainnya. Ia mencontohkan, kesulitan satu agama untuk membangun tempat ibadah karena agama tersebut kurang menyapa dan mengenal masyarakat lokal di lokasi tempat ibadah tersebut akan didirikan.

Ada juga kelompok yang berperilaku dengan seenaknya dengan mengatasnamakan demokrasi, padahal demokrasi juga didasarkan pada aturan yang disepakati bersama. (mkf)