Warta

Partai Islam Wajib Merefleksikan Ideologi

Sen, 7 September 2009 | 21:25 WIB

Jakarta, NU Online
Partai-partai Islam di Indonesia wajib merefleksikan ideologi masing-masing partai dan lebih terbuka pada keberagaman. Jika tidak, partai Islam akan kalah bersaing dengan partai-partai “sekuler” pada Pemilu mendatang.

“Partai Islam ke depannya akan mengalami masa sulit jika mereka tidak melakukan refleksi yang menyeluruh,” kata anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), Arief Mudatsir Madnan, dalam diskusi buku Krisis Ideologi yang ditulisnya, di gedung DPR, Jakarta, Senin (7/9) kemarin.<>

Arief menyatakan, buku yang ditulisnya merupakan kegelisahan terhadap partai Islam khususnya PPP. Buku setebal 475 halaman tersebut merupakan penelitiannya terhadap ideologi kaum santri dan penerapan ideologi Islam di PPP. Tidak hanya PPP, studi kasus Arief juga mencakup partai-partai berbasis Islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sosial (PKS).

Sebagai contoh, penelitian di Jepara menunjukkan, meskipun selalu menang di lumbung suaranya, perolehan suara PPP dari pemilu ke pemilu di daerah basis tersebut terus berkurang. Dari dua daerah pemilihan di Jepara yang pada pemilu 2004 menghasilkan dua kursi, tahun ini hanya memperoleh satu kursi.
 
Jika tidak dilakukan refleksi ideologi, Arief mengaku khawatir, partai Islam malah bisa tidak lulus syarat parliamentary threshold (ambang batas keterwakilan sebuah parpol di parlemen). Ia juga khawatir, tokoh-tokoh partai Islam juga akan beralih ke partai berbasis sekuler. Khusus PPP, ia mempertanyakan apakah militansi aktor-aktor politik internal PPP semakin bertambah atau berkurang.

Pengamat politik dari LIPI, Syamsudin Haris, menjelaskan, dilema partai Islam seperti PPP telah dikaji sejak Pemilu 1955. Jawabannya, Islam secara ideologis tidak sosiologis tidak otomatis Islam secara politis. “Sekarang itu, santri mengikuti kiai dalam agama tapi tidak dalam politik. Politik aliran telah mati,” kata Syamsudin.

Syamsudin menyebut PKS sebagai anomali. Alasannya, PKS memiliki aparatus ideologi yakni kaderisasi lewat pendidikan. Syamsul tidak melihat adanya aparatus ideologi dalam tubuh PPP karena ideologi Islam di dalam tubuh PPP tidak begitu jelas. Disampng bahwa Islam, lanjut Syamsul, bukan hanya milik partai Islam tapi juga partai-partai sekuler.

Syamsudin sepakat dengan usul refleksi ideologi partai Islam di Indonesia. Partai Islam, kata Syamsul, harus lebih inklusif dan modern. Artinya, partai Islam harus menjadi partai Islam nasional, tidak ada lagi sentimen yang sangat ideologis dalam partai Islam.

Adapun pengamat politik Fachry Ali, mengatakan, popularitas sebuah partai selalu mengikuti mass culture. Mass culture adalah sebuah budaya yang tidak lagi memiliki keterkaitan dengan etnik budaya dan ideologi agama tertentu. “Sementara partai Islam selama ini hanya mampu menyodorkan ideologi para kiai, sehingga kalah bersaing,” tambah Fachry. (ant/rif)