Warta

Para Santri pun Gelisah dengan Film Pesantren

NU Online  ·  Senin, 21 September 2009 | 23:13 WIB

Kudus, NU Online
Menjamurnya film dengan latar belakang pesantren belakangan ini ternyata menjadi kegelisahan tersendiri bagi kalangan pesantren, salah satunya para santri Pondok Pesantren Darul Falah Jekulo Kudus. Usai pengajian kilat Ramadhan lalu, mereka menggelar diskusi dan membedah beberapa film sekaligus yang sebelumnya telah dipertontonkan secara terbuka di pesantren itu.

Ada dua judul film yang diperdebatkan dalam forum ini, di antaranya adalah “Perempuan Berkalung Sorban” dan “Tiga Doa Tiga Cinta”. Keduanya merupakan film berlatar belakang pesantren yang dinilai penting untuk dibedah.<>

Kontributor NU Online Widi Muryono melaporkan, diskusi yang diikuti lebih dari limapuluh santri ini diadakan pada Sabtu-Ahad (12-13/9) lalu, sehari setelah kegiatan pesantren kilat telah usai.

Menurut M Alamul Yaqin, pembimbing pesantren itu, kegiatan bedah film semacam ini dinilainya penting untuk merangsang daya kritis santri terhadap fenomena sosial, terlebih yang berkenaan langsung dengan kehidupan mereka.

“Santri harus sigap merespon gejala sosial. Mereka harus berpengalaman agar tidak mudah terbawa arus zaman,” ujarnya saat mengajar pada kesempatan kilatan di pesantren itu beberapa waktu lalu.

Bedah film semacam ini menjadi niscaya bagi santri untuk mengembangkan metode belajar mereka. Para santri tidak selamanya berkutat dengan kitab-kitab dan gaya belajar salaf (kuno). Mereka perlu dihadapkan pada realitas sebagai basis pembelajaran kontekstual.

“Dengan bedah film semacam ini, mereka dapat memperoleh pelajaran substansial di dalamnya, di samping mereka dapat mengasah teori kelimuan yang mereka dapat dari pembelajaran di pesantren untuk menyikapi film-film semacam ini,” ujarnya.

Lebih lanjut, Gus Muh, panggilan akrab putra KH Ahmad Basyir itu mengatakan, pemilihan judul film tersebut sebagai bahan diskusi dengan asumsi bahwa film tersebut yang dinilai kontroversial.

Sependapat dengan pendapat Gus Muh, M Ridwan, pengurus di pesantren itu mengatakan bahwa film ini memang dinilainya kontroversial, bukan hanya karena salah satu film tersebut telah dikecam Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu, namun menurutnya, kehadiran dua film itu di belantika perfilman Indonesia memang telah mengundang pro-kontra, terutama di kalangan pesantren, figur yang paling dominan diangkat dalam kedua film tersebut.

“Bagi saya, film ini menarik dikaji bukan karena fatwa MUI, tapi kehadiran film-film itu memang perlu mendapat sikap tersendiri oleh pelakunya, para santri,” tegasnya. (nam)