Warta

Panwaslu Sinyalir Enam Kerawanan Selama Kampanye

NU Online  ·  Jumat, 16 Januari 2004 | 01:53 WIB

Jakarta, NU.Online
Anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) HM. Rozy Munir mensinyalir ada enam kerawanan selama masa kampanye yang dijadwalkan berlangsung dari 11 Maret hingga 2 April 2004,  dari keenam kerawanan itu sebagiannya masuk lingkup tugas polisi.

Demikian diungkapkan Rozy Munir dalam kesempatan jeda rapat International Conference for Islamic Scholars di gedung PBNU, Jakarta (15/1) kemarin.  Rozy mengatakan enam itu antara lain, penyalahgunaan jabatan publik oleh petinggi negara yang berasal dari partai politik (parpol) peserta pemilu dan politik uang, baik ditingkat elite maupun di bawah, oleh para calo anggota legislatif.

<>

Kerawanan pertama yang menjadi tanggung jawab polisi, lanjutnya, yakni kemungkinan terjadinya kerusuhan dan ketidaktertiban selama masa kampanye. Ini sangat mungkin terjadi karena pengerahan massa dalam jumlah besar oleh masing-masing parpol.

Kerawanan kedua adalah media massa, baik cetak maupun elektronik yang partisan dan tidak seimbang dalam pemberitaan. Bila ada media massa yang dalam pemberitaannya partisan, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panwaslu tidak bisa berbuat apa-apa. "Yang bisa mengawasi dan mengontrol itu adalah masyarakat serta pemerhati dan praktisi media," ujar Rozy

Menurut dia, kendati UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu mewajibkan media massa untuk memberi kesempatan yang sama kepada seluruh peserta pemilu, media massa tetap menganut prinsip kebebasan pers. Sedangkan terhadap iklan di media masa yang tidak seimbang dan tidak adil, maka KPU dan Panwaslu bisa mengawasinya.

Kerawanan ketiga selama masa kampanye yaitu pemerintah, terutama pemerintah daerah yang bertindak diskriminatif terhadap peserta pemilu dalam menggunakan fasilitas dan sarana publik. Saat ini, tuturnya, banyak kepala daerah baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota berasal dari parpol. Kepala daerah yang berasal dari parpol sangat mungkin lebih mengutamakan partainya. "Ini juga sangat berbahaya," tegasnya.

Kerawanan keempat, katanya, yaitu penyalahgunaan fasilitas negara oleh pejabat negara. Persoalan muncul di sini karena sanksi yang ada dalam peraturan pemerintah tentang larangan pejabat negara berkampanye sangat ringan, hanya sanksi administratif. "Nanti pejabat negara itu bilang, kan sanksinya hanya sanksi administrasi maka pejabat publik itu bisa dengan enak menggunakan fasilitas negara," tukasnya.

Berikutnya titik rawan kelima adalah PNS yang terlibat dalam kampanye. Kendati pun dalam UU Pemilu dtentukan PNS dan anggota TNI/ Polri dilarang berkampanye, tetapi kenyataan di lapangan saat ini bahwa banyak PNS terutama para kepala dinas, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota berkampanye untuk parpol tertentu.

Sedangkan kerawanan terakhir, jelas Rozy, berupa permainan politik uang yang sangat sukar untuk diawasi. Politik uang ini bisa terjadi pada level elite antara para pemilik modal atau pengusaha dengan parpol atau caleg, serta antara parpol dan caleg dengan massa akar rumput.

Dia mengemukakan, meski UU Pemilu sudah membatasi jumlah sumbangan kampanye tetapi UU itu berpotensi dicari kelemahannya. Artinya, pengusaha dan perusahaan yang mau menyumbang parpol tertentu bisa menyumbang lebih dari yang ditentukan UU dengan cara membagi-bagikan ke sekian banyak orang. "Dalam Pemilu 1999 kita mendengar ada istilah serangan fajar, uang makan dan transpor untuk mengikuti kampanye. Bukan tidak mungkin hal seperti itu akan terjadi lagi saat kampanye pada pemilu 2004," tandasnya. (cih)