Warta BULAN HARLAH KE-82 NU

Organisasi-organisasi Ahlussunah di Indonesia Rapatkan Barisan

Kam, 24 Januari 2008 | 01:38 WIB

Jakarta, NU Online
Dalam rangka peringatan hari lahir (Harlah) Ke-82 NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengundang beberapa organisasi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia dalam acara silaturrahim dan semiloka bertema "Menggagas Masa Depan Islam Nusantara", di gedung PBNU, Jakarta, selama dua hari, Kamis-Jum’at (24-25/1).

Beberapa organisasi yang hadir antara lain dari Pengurus Besar (PB) Tarbiyah Islamiyah, PB Al Washliyah, PB Al Khairaat, PB Nahdlatul Wathon, PB Darut Dakwah wal- Irsyad/DDI dan PB Mathlaul Anwar, dan beberapa Pengurus Wilayah NU di luar Jawa.<>

Menurut Wakil Ketua Panitia Harlah Ke-82 NU Abdul Munim DZ, acara bermaksud untuk mencari agenda bersama. Hadirnya Islam Ahhlusunnah wal Jamaah diharapkan membawa pengaruh besar pada kehidupan bangsa di bumi Nusantara ini.

“Ada banyak tantangan yang terus-menerus baik dari kalangan Islam radikal yang puritan maupun dari kalangan Islam liberal yang militan, maka eksistensi Islam Ahlussunnah wal Jamaah Nusantara ini perlu dibicarakan bersama dalam acara Silaturrahmim dan Semiloka,” katanya.

Menurut Mun’im, kekuatan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di Nusantara sangat besar, karena didukung oleh mayoritas umat Islam yang gigih.

“Hanya saja kekuatan itu kurang terpadu dan kurang sigap dalam memainkan media, sehinga perannya seolah menjadi terpinggir oleh kelompok-kelompok Islam garis keras yang puritan, tetapi sebenarnya minoritas,” katanya.

Karakter keberagamaan khas Ahlussunnah wal Jama’ah, kata Mun’im, adalah moderat dan toleran dengan tradisi lokal. Karakter ini dikembangkan oleh para wali atau ulama baik di Aceh, di Minangkabau, di Palembang di Pontianak, Banjarmasin, Bugis, Makassar, Ternate, Nusa Tenggara dan sebagainya, pada umumnya bermazhab Syafiiyah, atau mazhab empat pada umumnya.

Dikatakannya, selain membuat organisasi-organisasi mereka juga terhimpun dalam kelompok terekat, seperti Sattariyah, Qadiriah, Naqshabandiyah dan lain sebagainya.

“Dengan kekuatan tradisi itu mereka bisa mendirikan pusat-pusat kebudayaan, baik berupa kerajaan maupun lembaga pendidikan pesantren dan pusat perdagangan. Dengan sarana itu Islam berkembang pesat di seluruh penjuru Nusantara lebih intensif dan lebih langgeng ketimbang pengaruh agama lainnya yang pernah ada,” katanya optimis. (dar/nam)