Warta

Orde Baru Belum Sepenuhnya Runtuh

NU Online  ·  Sabtu, 3 Januari 2004 | 13:38 WIB

Jakarta, NU.Online
System politik orde baru belum sepenuhnya runtuh, malah semakin solid melakukan konsolidasi menjelang pemilu 2004, ini terbukti dengan konfigurasi 24 partai politik peserta pemilu yang menunjukkan dominasi kekuatan orde baru dan romantisme orde lama. Sementara gerakan reformasi nyaris tak terlihat, demikian diungkapkan pengamat politik Universitas Indonesia Arbi Sanit, dalam acara Dialog Bulanan yang diselenggarakan NU.Online di LT V gedung PBNU (3/1)

Dalam Acara bertajuk fenomena bangkitnya orde baru, Arbi mengungkapkan Kekuatan orde baru yang cukup besar dapat dilihat dari analisa kepemimpinan, jaringan organisasi, sumber daya manusia dan dana, kekuatan orde baru masih cukup besar. "Kekuatan itu bisa dilihat pada parpol seperti Golkar, PKPB, PKP Indonesia dan Partai Patriot Pancasila yang ditengarai memiliki kedekatan dengan orde baru," ungkapnya

<>

Berdasarkan keempat faktor itu, Arbi memperkirakan, kekuatan reformis akan kalah dan satu hal yang mungkin dilakukan adalah menggalang koalisi. ”Saya melihat pembangunan koalisi ini bukan hanya dilakukan oleh kekuatan reformis, tapi juga orde baru,” ujarnya.

Dalam diskusi Arbi juga mengungkapkan kemungkinan bangkitnya orde baru itu dari dua sisi, pertama dari people, politisi lama yang muncul lagi ke panggung publik dan kembalinya sistem kekuasaan politik orde baru, hal ini terjadi karena adanya kesalahan orde reformasi dengan tidak merubah UUD. "Inilah kesalahan reformasi yang fatal, karena gerakan reformasi tidak memulai dengan merubah UUD dan langsung menyelenggarakan pemilihan umum, sehingga tidak ada alasan untuk menyingkirkan orang-orang eks orde baru, beda dengan Philiphina, mereka merubah UUD, lalu memperbaharui system politiknya dengan UUD," ungkap Arbi

Jadi Pemilu 99 merupakan akar dari kegagalan system yang sedang kita jalankan, malah semakin mengukuhkan kerjasama diantara elit reformasi dengan elit orde baru, dan reformasi sendiri sejak pemilu 1999 itu bukan dikerjakan toleh elit orde baru, tapi bersama-sama tokoh-tokoh reformasi. Tentu kembalinya sistem politik orba itu amat bergantung seberapa kuat tokoh-tokoh orde baru, organisasi dan tokoh-tokoh mereka yang masih berkuasa. "sekarang tidak ada bedanya mana yang orde baru mana yang reformsi," katanya

Namun demikian dirinya mengakui bahwa sejak runtuhnya orde baru, pemilu di Indonesia sudah berlangsung secara demokratis. Tetapi perlu dicatat, tetap saja partai politik, calon anggota legislatif, dan calon presiden berupaya dengan segala cara untuk meraih suara sebanyak mungkin. Dan, upaya dengan segala cara ini bisa saja mengorbankan rakyat sebagai pemilih. Kita tentu belum lupa dengan maraknya sinyalemen politik uang, baik pada Pemilu 1999 maupun dalam pemilihan gubernur atau bupati hingga sekarang ini.

Lebih jauh Arbi mengungkapkan realitas politik uang ini memang masih bercokol dan katanya, jika pemilu 2004 nanti yang bermain adalah politik uang makan kekuatan lama akan memenangkan pemilu. "untuk memenangkan pemilu 2004 harus menguasai 71 juta pemilih dari 174 juta yang memiliki hak suara untuk memilih, jika dikalikan setiap orang 10.000 per suara artinya dibutuhkan dana 71 trilyun, dan yang memiliki dana lebih dari itu kan keluarga cendana," tegasnya.

Ditempat yang sama pengamat militer Djuanda, yang mantan sespri Gus Dur mengatakan, gerakan reformasi tidak bisa berharap banyak dari Pemilu 2004. Hampir semua partai besar, termasuk PDIP, masih didominasi kekuatan lama. ”Gerakan reformasi tahun 1998 terlalu demokratis sehingga tidak ada tindakan yang diambil terhadap kekuatan-kekuatan lama,” ujarnya. Djuanda juga mengatakan kondisi saat ini tidak jauh lebih baik dibanding di era rezim Orde Baru. ”Kita memang tidak bisa berharap pada peran parpol untuk membuat perubahan pada saat ini, karena system mulit partai yang ada sekarang tidak cocok dengan demokrasi ala Indonesia. "System multi partai itu hanya mengeksploitir rakyat untuk kepentingan elit saja, mereka mengatas namakan demokrasi dan rakyat untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya, bukan untuk kepentingan rakyat," tegas Djuanda

lantas ia juga mempertanyakan untuk apa sebenarnya dilaksanakan pemilu, jika kekuatan yang ada sekarang hanyalah menyediakan kekuatan-kekuatan lama untuk berkuasa kembali, demikian Djuanda. (Cih)