Jakarta, NU.Online
Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) mengeluarkan fatwa jatuhnya Hari Raya Idul Adha pada Ahad 1 Februari 2004 dan tanggal 1 Dzulhijjah 1424 Hijriah H bertepatan pada hari Jum'at tanggal 23 Januari 2004.
Keputusan ini diambil dalam sidang itsbat yang dilakukan PBNU, menanggapi kemungkinan silang pendapat dalam penentuan hari raya yang selama ini kerap terjadi. Sidang rukyah ini diselenggarakan PBNU pada hari Kamis tanggal 22 Januari 2004 menjelang maghrib di beberapa lokasi yang telah ditentukan. NU telah memperoleh hasil dapat rukyatul hilal (melihat bulan tanggal satu) di Parangkusumo pantai selatan Yogyakarta, oleh suatu tim yang terdiri dari ahli hisab dan ahli rukyah, para ulama dan tokoh masyarakat di bawah pimpinan Drs. H. Muhyiddin. Atas dasar rukyatul hilal ini, maka NU mengikhbarkan bahwa tanggal I Dzulhiijah 1424 H jatuh pada hari Jum'at tanggal 23 Januari 2004 dan idul Adha jatuh pada hari Ahad tanggal I Februari 2004.
<>"Jadi berdasarkan sidang itsbat di departemen agama pada 21 Januari 2004, NU tidak ada perbedaan dalam penentuan Idul Adha dengan pemerintah, Hanya saja berbeda alasan. NU mendasarkan pada keberhasilan rukyatul hilal dan pemerintah mendasarkan pada istikmal dengan perhitungan hisab bahwa hari Rabu tanggal 21 Januari 2004 sudah dianggap tanggal 29 Dzulqa'dah (berbeda dari NU) posisi bulan masih di bawah ufuk dan rukyah pada hari tersebut tidak berhasil melihat hilal
Menurut ketua Lajnah Falakiyah NU, KH.Ghazali Masruri jika menggunakan dasar perhitungan hisab, maka NU menetapkan hari ke 29 Syawal sore (selasa, 23 Desember 2003) setelah terjadi ijtima' pukul 16.53 w'IB, tinggi hilal 0° 23' belum mencapai kriteria imkanurrukyah (ketentuan dapat dilihat) 2° dengan umur hilal 8 jam. Sehingga lanjut Ghazali, hari Rabu tanggal 24 Desember 2003 harus menjadi tanggal 30 Syawal dan awal Dzukla'dah jatuh pada hari Kamis tanggal 25 Desember 2003, sedang hari Kamis tanggal 22 Januari 2004 adalah tanggal 29 Dzulqa'dah yang merupakan waktu rukyah dan bukan jatuh pada hari Rabu tanggal 21 Januari 2004 sebagaimana pendirian pemerintah. "Hitungan hisab NU ini pada dasarnya sama dengan hitungan hisab para astronom antara lain Planetarium dan Obsetvatorium," terangnya.
Sementara itu menanggapi statemen MUI teranyar yang ingin menyatukan kedua pendapat untuk penetapan tanggal penting Islam yang sering berbeda yakni metode hisab yang digunakan Muhammadiyah dan rukyat yang digunakan NU. Rais Syuriah bidang Rukyat PB Nahdlatul Ulama (NU) KH.Irfan Zidny mengatakan, NU akan tetap memegang tradisi menggunakan metode rukyat dalam penentuan 1 Syawal dan bulan lainnya
"Meskipun demikian kami terbuka terhadap upaya rukyat dengan teknologi canggih sehingga jika hilal tidak bisa dirukyat dengan mata maka dengan teknologi, itu pun masih ada hadist-hadist yang memberi kesempatan untuk istikmal atau menggenapkan bulan. Jadi kalau hilal tidak terlihat, kami akan menggenapkan bulan menjadi 30 hari," katanya. (cih)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Pentingnya Amanah dan Kejujuran di Tengah Krisis Kepercayaan Publik
2
Khutbah Jumat: Jangan Ikut Campur Urusan Orang, Fokus Perbaiki Diri
3
Khutbah Jumat: Kelola Harta dengan Bijak
4
Khutbah Jumat: Menjadi Hamba Sejati Demi Ridha Ilahi
5
Khutbah Jumat: Pentingnya Menjauhi Lingkungan Pertemanan yang Toxic
6
Innalillahi, Mustasyar PBNU KH Ahmad Chozin Wafat dalam Usia 76 Tahun
Terkini
Lihat Semua